Dange,
bagi sebagian besar orang Bugis sudah mengetahui makanan yang satu ini. Selain
nikmat disajikan dengan makanan jenis lain, juga tahan lama dan bisa menjadi
alternatif bagi penderita diabetes. Namun saya akan menceritakan makanan ini
dalam pengalaman saya.
Merupakan
makanan tradisional masyarakat Bugis, terutama yang di daerah Luwu. Sudah
menjadi santapan sehari-hari masyarakat Luwu menikmati makanan satu ini.
Biasanya di acara keluarga atau acara tudang sipulung (ramah tamah)
selalu dange dan makanan tradisional lain menyertai.
Dange
yang kaya karbohidrat tersebut merupakan makanan pokok sebagian masyarakat
jaman dulu, yang kadar gulanya sangat rendah ketimbang nasi. Makanya beberapa
penderita diabetes akhirnya menjadikan dange sebagai bahan terapi untuk
mengurangi konsumsi nasi yang kadar gulanya cukup tinggi. Silahkan bagi anda
yang bermasalah dengan gula, dan dilarang dokter makan nasi, bisa merasakan
nikmatnya dange ini.
makan dange dengan ikan parede
Makanan
ini berbahan dasar dari sagu, dibuat di atas tungku dengan menggunakan kotak
yang bisa memasukkan tepung sagu sehingga terbentuk kotak-kotak tipis. Dimasak
beberapa lama, sampai terlihat sudah berwarna abu-abu dan terlihat sudah
melekat butiran-butiran sagunya.
Bagi anda yang pertama kali makan, dange tentunya akan terasa asing di lidah dan saat dikunyah seperti makan biskuit yang masih terasa butir-butir tepungnya. Yah seperti orang bule makan nasi yang kebiasaan makan roti itu contohnya:
Bagi anda yang pertama kali makan, dange tentunya akan terasa asing di lidah dan saat dikunyah seperti makan biskuit yang masih terasa butir-butir tepungnya. Yah seperti orang bule makan nasi yang kebiasaan makan roti itu contohnya:
Dange
yang enak menurut saya adalah dange yang tidak lembek dan tidak keras. Biasanya
tergantung cara memasaknya, dan memang harus ahli. Setelah dimasak perlu proses
beberapa hari untuk mengeraskannya. Kalau sehabis dimasak di tungku, masih
lembek panas dan seperti kue ketika masuk di mulut, ditambah gula jadi maknyus
juga. Dange buatan tante saya (saudara tertua ibu saya) merupakan dange yang
paling enak. Waktu kecil saya sering memperhatikan tante saya itu bikin dange,
namun sayang sekarang sudah tidak membuatnya lagi, cukup membeli di tetangga.
Kalau
sudah menemukan dange, saya tidak makan nasi lagi, terasa makyus sudah dalam
lidah, bercampur dengan ikan bakar, parede (ikan yang dimasak spesial,
asli Luwu juga), atau lawa atau pacco (seperti susi, ikan
yang ngak dimasak tapi cuman dikasih cuka dan kelapa parut goreng) dan berbagai
jenis lauk-pauk orang-orang Luwu.
Dange
biasanya diseduh dengan kuah ikan, atau kuah sayuran, untuk mengurangi kerasnya
dange ketika dimakan, dipotong kecil-kecil dan dimasukan ke mulut bersama
potongan ikan dan sayuran. Paling enak dengan menggunakan kuah kapurung massido…
marasa… mapappe.
Dange
dapat bertahan berbulan-bulan, tidak ada istilah basi buat dange ini. Cerita
orang tua dahulu kala ketika terjadi pergolakan pemberontakan Kahar Muzakkar,
dange merupakan makanan pokok yang disimpan dalam tanah untuk bertahan
berbulan-bulan dalam hutan. Menghindari para gerombolan pemberontak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar