Total Tayangan Halaman

Jumat, 17 Desember 2010

JATUHNYA SEORANG PEMIMPIN YG BIJAKSANA

Meskipun mungkin akan terkesan terlampau mengada-ada bahkan ahistoris untuk mengatakan bahwa riwayat kekuasaan politik pada sebuah masyarakat senantiasa berulang dalam pola yang relatif sama untuk jangka waktu yang sangat lama, tapi untuk konteks politik Indonesia kontemporer, pernyataan seperti itu tampaknya tetap tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ketika Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya tgl 21 Mei 1998 yang lalu, misalnya, ia tidak menggunakan istilah apa pun yang bisa dicari dalam kamus politik modern melainkan satu istilah yang bisa mengantarkan konotasi konseptual kita pada kisah kekuasaan ratusan tahun yang lalu di zaman kerajaan Mataram Hindu, yakni istilah “lengser” atau lengkapnya “lengser keprabon” yang artinya tidak bisa tidak kecuali meninggalkan tahta keprabuan atau kerajaan[1].

Dalam khasanah budaya Jawa ungkapan itu juga diikuti oleh anak kalimat “madeg pandita”, sehingga bunyi lengkap dari ungkapan tadi menjadi “lengser keprabon, madeg pandita” yang translasinya dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti “berhenti dari tahta kerajaan untuk menjadi seorang pandita”. Ungkapan seperti itu seolah menegaskan bahwa Soeharto berhenti dari tahtanya bukan karena tekanan atau paksaan dari pihak lain, seperti demonstrasi massa mahasiswa dan rakyat atau tindakan beberapa orang menterinya yang ramai-ramai mengundurkan diri dan tidak bersedia diangkat kembali dalam kabinet baru yang akan dibentuk Soeharto, melainkan secara sukarela karena ia ingin melakukan peningkatan kualitas personal dengan menjadi seorang pandita.

Dalam situasi terpojok secara politis, Soeharto berpaling pada kosmologi Jawa-Hindu yang, seperti bisa ditemukan dalam kisah-kisah Mahabharata, mengajarkan sebuah hierarki kultural tentang tugas-tugas pengabdian manusia di dunia: kalau tugas penguasa adalah dharma duniawi seorang satria, maka status yang lebih mulia bisa dicapai justru dengan menarik diri ke wilayah spiritual, meninggalkan tugas kesatria menjadi pandita[2]. Politik penyelematan muka seperti ini memperlihatkan bagaimana Soeharto berusaha menegasikan realitas empirik melalaui lompatan kosmologis ke dunia metafisika dengan (mengklaim dirinya) berhenti sebagai presiden bukan karena alasan-alasan struktural, melainkan lebih karena ia ingin memenuhi imperatif kultural tentang penyempurnaan hidup seorang individu Jawa terhormat seperti dirinya.

Di lain pihak, pemberhentian Abdurrahman Wahid dari tahta presiden juga melengkapi riwayat ganjil kekuasaan modern di negeri ini: setiap pergantian kepala pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh kemelut politik rumit berkepanjangan, sedemikian rupa sehingga banyak orang berkeyakinan bahwa solusi terbaik hanyalah dengan mengganti pucuk pimpinan negara. Perhatikan kutipan ucapan seorang warga Surabaya berikut ini:


“Sidang istimewa harus dilaksanakan. Kita ingin melihat ada perubahan di Indonesia. Ndak perlu lagi itu kompromi-kompromi politik atau bagi-bagi wewenang dengan Mbak Mega. Pokoknya sekarang Gus Dur harus turun dulu, persoalan yang mau gantiin dia siapa itu urusan nanti. Harus ada pergantian pemerintahan dulu baru pemerintahan negara ini bisa berjalan lagi. Sebab kalau tidak, upaya wakil rakyat selama ini akan sia-sia, dan Sidang Istimewa sendiri akan ngambang hasilnya.” (Kompas, 27 Mei 2001)


Kenyataan seperti ini, paling tidak, mengindikasikan dua hal. Pertama, eksistensi seorang pemimpin pemerintahan dan kepala negara senantiasa diandaikan sebagai hulu sekaligus muara dari nasib politik negara bahkan bangsa. Penyelenggaraan negara, dengan demikian, tidak diasumsikan sebagai mekanisme sistemik dan impersonal melainkan lebih sebagai perpanjangan kemampuan personal figur seorang pemimpin. Kedua, dalam rentang yang sangat panjang, sejarah masyarakat politik di Indonesia sebagian besar merupakan kisah bersambung yang penuh nuansa kekerasan. Suksesi jadi identik dengan perebutan kekuasaan. Banyak orang kemudian sering berpaling pada sejarah kelam suksesi kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan besar di Jawa pra Indonesia--yang konon berlangsung melalui kekerasan, mewariskan luka sosial dan dendam politik turun temurun.[3] Siapa pun yang ingin berkuasa, dengan demikian, ia harus cukup keji untuk menghargai lembar-lembar nyawa manusia hanya jadi sederet angka statistik.

Kondisi yang sama, meskipun tidak terjadi secara aktual, kembali berulang persis pada paruh pertama abad 21. Menjelang kejatuhan Wahid, misalnya, sebagian masyarakat ditikam kecemasan akan kemungkinan timbulnya konflik horizontal yang bisa membawa malapetaka besar bagi seluruh bangsa. Akibat pelbagai pemberitaan media yang sangat massif dan suksesif, cukup berasalan untuk mengatakan bahwa di pikiran sebagian masyarakat, paling tidak mereka yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya, waktu itu yang terbayang adalah darah dan tubuh yang akan menjadi kurban untuk sebuah kesia-siaan politik. Tampak jelas bahwa politik dan kekuasaan telah menjadikan tubuh biologis rakyat sebuah arena pertempuran. Parade kolosal petugas keamanan sebelum, pada saat dan beberapa hari setelah MPR melangsungkan sidang istimewa di gedung parlemen menjadikan bayangan menakutkan itu makin mendekati kenyataan. Ketika TNI dan Polisi pamer kekuatan seperti sedang hendak memaklumkan sebuah perang besar, orang makin bertanya-tanya apakah negeri ini sudah akan habis. Satu hal moronis terjadi ketika yang dipagari puluhan ribu senapan dan mobil baja ternyata bukan rakyat sipil warga Jakarta, melainkan salah satu pihak yang jadi penyebab kerawanan politik, yakni anggota parlemen dan MPR. Jika dibaca dari sebuah jarak kritis fenomena seperti itu akan memunculkan pertanyaan problematik tentang keterlibatan mereka dalam membangun bayangan masyarakat tentang kekerasan yang muncul setiap terjadi suksesi kepemimpinan nasional.

Dengan pengecualiaan pada Habibie, ada beberapa kesamaan antara Wahid dengan para pendahulunya. Kalau Soekarno punya cita-cita “revolusi yang belum selesai”, Soeharto punya cita-cita pembangunan, sedangkan Wahid punya cita-cita reformasi (total). Ketiganya muncul dalam sebuah krisis politik yang sangat menentukan. Persoalannya kemudian adalah, kalau bangsa ini butuh waktu 20 tahun lebih untuk mengakhiri ambisi Soekarno, dan 32 tahun untuk menghentikan proyek pembangunan Soeharto yang korup dan bengis, mengapa kita hanya butuh waktu 2 tahun untuk menyaksikan jatuhnya kekuasaan Wahid? Dinyatakan dengan cara yang berbeda pertanyaannya adalah, mengapa proses delegitimasi politik secara radikal lebih cepat terjadi pada era kekuasaan Wahid dibanding pada dua orang pendahulunya.

Karangan ini tidak pertama-tama dimaksudkan untuk memeriksa perisitwa-peristiwa kekerasan dalam setiap suksesi pimpinan nasional dalam politik Indonesia modern, melainkan lebih pada upaya membaca kembali bagaimana riwayat (pergantian) kekuasaan modern di Indonesia, dalam hal-hal tertentu yang sangat terbatas lingkupnya, masih merefleksikan sebuah relasi antara konsep politik tentang kekuasaan (power) dengan konsep kultural tentang kemuliaan dalam kosmologi masyarakat Indonesia, secara spesifik mungkin bisa disebut masyarakat Jawa tapi yang pada kenyataannya cenderung juga berlaku untuk yang lain[4]. Kiranya perlu terlebih dahulu dikemukakan bahwa karena beberapa keterbatasan, argumentasi saya tentang konsep kemuliaan ini cenderung masih bersifat spekulatif. Di sisi lain, karangan ini juga akan mencoba mengajukan hipotesa bahwa di samping faktor-faktor lain yang bersifat struktural, salah satu pendorong runtuhnya kekuasaan Abdurrahman Wahid adalah munculnya disilusi masyarakat terhadap utopisme penyatuan kuasa dan kemuliaan pada diri seorang individu pemimpin negara--yang sebagian besar sebabnya justru bersumber dari tabiat Wahid sendiri.

Kalau baik setelah Soekarno, Soeharto maupun Habibie berhenti orang masih begitu besar mengharapkan munculnya seorang pemimpin yang bisa menjadi berkah bagi bangsanya, hal itu tidak terjadi ketika Megawati naik tahta kepresidenan menggantikan Wahid. Kekecewaan akibat kegagalan Wahid, atau justru pengetahuan bersama akan keterbatasan Megawati, tampaknya telah mendorong masyarakat Indonesia menjadi lebih realistis, kalau bukan rasional, dalam melihat kemampuan pemimpinnya. Dalam kalimat lain, sambil mengakui bahwa budaya merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam analisa politik di satu sisi, karangan ini sekaligus juga ingin memperlihatkan bagaimana dalam aspek-aspek tertentu masyarakat mengalami pelbagai perubahan dinamis di sisi lain. Kalau pun budaya sering terefleksikan dalam politik negara, tapi nilai apa yang direfleksikan tampaknya tidak harus sama dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam lingkungan masyarakat politik yang bersangkutan. Elitisme politik mungkin merupakan salah satu penjelas dari kecenderungan seperti itu, sehingga apa yang berlangsung pada level elit kekuasaan politik tidak otomatis merupakan aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya. Kalau ukuran termudah aspirasi masyarakat bisa dilihat dari hasil perolehan Pemilu, maka terpilihnya Wahid oleh MPR mengalahkan Megawati yang justru memenangi Pemilu jelas memperlihatkan elitisme tersebut.[5]

Telaah klasik seperti yang telah dilakukan oleh Ben Aderson (1991) dan Moertono (1985), misalnya, sama-sama memperlihatkan kepada kita bahwa konsep kuasa dalam masyarakat Jawa tempo dulu, kontras dengan faham kekuasaan masyarakat Barat, niscaya ditarik masuk ke wilayah spiritual bahkan supranatural. Selain dianggap konkret dan tidak bisa dibagi seperti dalam analisa Ben Anderson, kekuasaan juga dipahami sebagai sesuatu yang sumber-sumbernya tidak berasal dari dunia sosial melainkan dari dunia di atasnya. Sumber kuasa diyakini berada di seberang realitas. Ini tentu saja memperlihatkan dua hal yang kontradiktif: antara materialisasi kuasa (dalam konteks kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang konkret), dan dematerialisasi sumber-sumber kuasa (dalam konteks pelarian pada dunia spiritual dan supranatural untuk menjelaskan asal-usul kuasa yang sama).

Problemnya adalah karena penekanan utamanya hanya pada aspek-dalam kebudayaan, terutama tentang kosmologi kekuasaan masyarakat Jawa, teori-teori tersebut tidak bisa secara memuaskan menjelaskan mengapa proses deligitimasi politik terjadi di luar deskripsi tentang adanya kepercayaan mitis masyarakat Jawa bahwa seorang pemimpin yang sudah ditinggalkan oleh pulungatau wahyu keprabon tidak akan lagi dipatuhi oleh masyarakat yang dikuasainya. Penjelasan tentang disintegrasi kekuasaan, dengan demikian, juga dilakukan dengan cara menariknya ke dalam wilayah spiritual bahkan supranatural yang diyakini oleh masyarakat Jawa sehingga, dengan demikian, penjelasan seperti itu cenderung tidak mengakui atau mengabaikan dinamik yang berlangsung pada level masyarakat, dan karena itu tidak kritis.

Kekuasaan dan Kemuliaan
Untuk sementara ada baiknya diandaikan bahwa, meskipun sangat subtil, kekuasaan dan kemuliaan pada mulanya bolehjadi merupakan dua wilayah yang berbeda sama sekali atau, sekurang-kurangnya, secara konseptual masih bisa dibedakan. Untuk keperluan tulisan ini cukuplah dikatakan bahwa, kalau yang pertama berasosiasi pada kesanggupan untuk mendatangkan kepatuhan dan meniadakan penentangan, yang kedua berasosiasi pada keagungan dan penghormatan. Dalam khasanah pemahaman masyarakat Barat, kuasa mengisyaratkan kemampuan mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu, sedangkan kemuliaan mengisyaratkan apa yang mungkin lebih mendekatkan asosiasi konseptual kita dengan konsep Walter Benjamin, dalam konteks yang berbeda, tentang aura[6], semacam getar ganjil yang menerbitkan ketakziman pihak lain. Yang pertama berasosiasi pada kekuatan dan kesanggupan mengerahkan instrumen-instrumen pemaksa, sedangkan yang kedua lebih berhubungan dengan apa yang dalam tradisi Weberian biasa disebut kharisma. Kekuasaan adalah terminologi politik, sedangkan kemuliaan bisa diperlakukan sebagai terminologi kultural.

Domain utama kekuasaan adalah praktik-praktik politik, sedangkan kemuliaan mungkin lebih umum diterima sebagai semacam opus spirituale yang tercermin langsung dalam prilaku-prilaku yang spesifik. Kuasa bersifat profan, sedangkan kemuliaan dianggap sakral. Jika dihubungkan dengan konsep otoritas,[7] perintah seorang tokoh politik mungkin dipatuhi karena ia memiliki akses pada perangkat-perangkat politik untuk memberi ancaman dan sanksi, sedangkan seruan seorang tokoh spiritual ditaati karena ia dianggap mewakili sebuah suara kebenaran. Kalau kekuasaan dihasilkan dari kemampuan memenangkan kompetisi dalam relasi-relasi sosial, kemuliaan hanya mungkin diraih melalui kemampuan mengalahkan diri sendiri dalam bentuk pengolahan ruhani secara individual. Ekstrem negatif kekuasaan adalah pemanfaatan sumber-sumber daya koersif untuk menghabisi penentangnya, sedangkan kemuliaan pada titik ekstremnya bisa melahirkan ketaklidan buta para pengikut. Kalau kekuasaan bisa menjadi tirani, kemuliaan berpotensi menghasilkan dogma. Tampak jelas bahwa dalam konteks semacam itu baik kuasa maupun kemuliaan pada akhirnya juga mensyaratkan adanya orang atau pihak lain sebagai objek yang dikuasai atau dipengaruhi.

Dalam konteks terbatas, kekuasaan boleh jadi juga tidak mensyaratkan kemuliaan seperti kemuliaan juga tidak pernah mengandaikan kekuasaan. Seorang tokoh politik bisa tidak menjadi tokoh spiritual kharismatik tapi tetap dipatuhi bahkan ditakuti, sama seperti seorang tokoh spiritual tetap ditaati meskipun tidak memiliki kuasa politik. Tapi dalam praktik dua hal ini tampaknya tidaklah mudah, jika bukan mustahil, dipisahkan. Faham kekuasaan yang dianut masyarakat Jawa, seperti diuraikan secara memikat oleh Anderson (1991), misalnya, justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan diraih melalui pelbagai laku spiritual untuk mendapatkan pulung atau wahyu kesekten sehingga, kalau mengikuti tesis Anderson, kuasa dan kemuliaan dalam masyarakat Jawa ternyata tidak bisa dianggap secara dikotomis satu dengan yang lain melainkan membentuk relasi-kausalitas, yang satu menyebabkan yang lain. Bayangan tentang kekuasaan sebagai perwujudan kemuliaan semakin lengkap, ketika tahta kekuasaan raja tradisional juga dikukuhkan dengan simbol mahkota penghias kepala yang terbuat dari logam dan batu mulia. Tidaklah mengherankan jika kesatuan kuasa dan kemuliaan juga bisa dengan mudah diterjemahkan secara material menjadi sumber-sumber kemakmuran ekonomis[8]. Karena itu cukup mengharukan bahwa salah satu motivasi dominan orang memperebutkan jabatan publik di sini bukan terutama untuk mengabdikan diri kepada negara, melainkan untuk meraih sumber-sumber kemakmuran. Tapi ini adalah persoalan lain yang tidak akan dibahas dalam karangan ini.

Tanpa mengikuti kerangka analisa Anderson pada dasarnya bisa dikatakan bahwa relasi di antara kuasa dan kemuliaan justru muncul dalam problematik apakah mungkin kemuliaan bisa tidak merefleksikan relasi kuasa, atau tidakah pada dasarnya kemuliaan adalah sebuah arena tempat kontestasi segala bentuk potensi kuasa. Interpretasi mutakhir tentang kuasa seperti yang dilakukan Foucault, misalnya, justru memperlihatkan pada kita bagaimana kuasa bersifat omnipresent, hadir di mana-mana, satu bentuk pengetahuan yang menyebar dalam seluruh pranata dalam dunia sosial[9]. Ditinjau dari jurusan lain, problemnya barangkali adalah bagaimana secara kategoris memisahkan kuasa dan kemuliaan ketika baik kuasa maupun kemuliaan secara substansial sama-sama berorientasi pada kontrol satu pihak terhadap pihak lain.

Telah banyak dibahas bahwa salah satu mimpi terindah masyarakat politik di Indonesia, paling tidak sampai saat terakhir kekuasaan Habibie dan menjelang Wahid dipilih, adalah justru berlangsungnya penyatuan antara kuasa dan kemuliaan pada, katakanlah, sosok panditaratu, mahaguru yang suci-bijak-bestari sekaligus seorang raja yang adil dan perkasa. Ini akan mengingatkan sebagian orang pada gagasan Nietzsche tentang Uebermench, yang dalam tafsiran Walter Kaufman diidentifikasi sebagai “Napoleon yang manunggal dengan Goethe”. Utopisme semacam ini akan membantu menjelaskan riwayat kekuasaan modern di Indonesia.

Pada dekade 1960an kita pernah mengenal gelar Panatagama Senapati ing ngalaga dan Pemimpin Besar Revolusi yang disematkan hanya pada dada satu orang, Soekarno. Dalam sosok Soekarno rakyat pernah meyakini telah terjadi integrasi sempurna antara keperkasaan seorang panglima perang dan kemuliaan seorang pemimpin spiritual (agama), sehingga kekuasaan pun menjadi memusat dan total pada satu figur Soekarno. Ia dianggap hulu dari mana negeri ini bisa merebut martabat eksistensial di hadapan bangsa-bangsa lain, dan pada saat yang sama ia juga jadi muara ke mana seluruh energi rakyat mengalir untuk mencapai samudra kebesaran sebuah bangsa. Soekarno bukan saja seorang presiden tapi juga nabi bahkan seorang mesiah[10].

Tahun 1999 yang lalu sebagian masyarakat kita juga pernah menaruh harapan sangat besar pada penjelmaan tunggal sosok ulama dan umara sekaligus, Abdurrahman Wahid. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa jauh sebelum diangkat menjadi presiden Wahid dikenal bukan saja sebagai tokoh pergerakan prodemokrasi melainkan, dan terutama juga, karena ia adalah seorang pemimpin organisasi umat islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU). Di samping itu, ia juga mewarisi garis geneologis langsung dari tokoh-tokoh yang di kalangan kaum nadliyin dipercaya sebagai “orang-orang mulia”. Kakeknya, Hasyim Asy’ari, yang di kalangan NU juga dianggap sebagai Hadratush Syaikh, adalah pendiri sekaligus Rois Am pertama NU, sedangkan ayahnya, Wahid Hasyim, pernah menjadi salah seorang menteri agama semasa pemerintahan Seokarno. Kenyataan bahwa Wahid secara fisik tidak memenuhi syarat ideal seorang pemimpin yang sempurna, terbukti tidak menjadi faktor penghambat yang tidak bisa diatasi. Lebih dari itu, jika dilihat dari kaca mata budaya Jawa, terpilihnya Wahid juga memperlihatkan bagaimana pergeseran terjadi pada sejauhmana orang Jawa bisa menerima pemimpin tertingginya yang justru sama sekali tidak memenuhi bahkan bertolak belakang dengan ideal seorang pemimpin Jawa.[11] Apakah hal tersebut bisa dibaca sebagai bukti bahwa utopia manunggalnya ulama dan umara telah melonggarkan keterikatan orang Jawa pada nilai-nilai budayanya, ataukah itu justru mencerminkan dinamik masyarakat Jawa kontemporer? Sejauh ini belum ada penjelasan yang baik tentang fenomen tersebut.

Suara Dari Langit Untuk Wahid
Meskipun tanpa melalui pemilihan umum, Wahid pada mulanya bisa dikatakan merupakan presiden yang bisa meraih kepercayaan sekaligus dibebani harapan begitu besar sama seperti orang menaruh harapan pada Soeharto pada masa awal kekuasaannya. Begitu besarnya harapan tersebut sehingga orang sekelas Nurcholis Madjid, misalnya, bahkan berharap agar Gus Dur bisa berperan seperti Roosevelt di Amerika Serikat, yang mampu memimpin rakyatnya menghadapi salah satu krisis terbesar yang pernah terjadi di AS (Kompas, 22 Maret 2000). Legitimasi dari bawah diperoleh Wahid dalam pengertian bahwa ia tidak mendapatkan penolakan terbuka baik dari kubu massa pendukung Habibie maupun kubu pendukung Megawati. Kerusuhan besar akibat kemarahan simpatisan PDIP di Solo dan Bali tampaknya lebih banyak diterima sebagai bentuk kekecewaan akibat tidak terpilihnya Megawati sebagai presiden, dan bukan bentuk penolakan terbuka atas penobatan Wahid. Sekali lagi sejarah seperti berulang ketika utopisme politik yang melatarbelakangi dipilihnya Wahid juga ditopang oleh rasa takut kolektif yang hampir bersifat mitis akibat penciptaan wacana kekerasan--yang cenderung akan kembali mengingatkan banyak orang pada sisi gelap sejarah suksesi kepemimpin sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara sampai Soeharto. Sebelum Wahid dipilih beberapa tokoh penting politik secara eksesif telah menciptakan dan memanipulasi wacana tentang bahaya perang saudara kalau kompetisi politik di antara dua kekuatan terbesar waktu itu, Golkar dan PDIP, tidak dicarikan jalan ke luar secara damai. Tepat di ujung abad 20 pada tingkat wacana kita seperti dikembalikan ke masa perang paregreg berabad-abad yang lalu. Berikut adalah kutipan dari keterangan Amien Rais kepada media massa yang bisa dijadikan ilustrasi tentang fenomena tersebut:


“….masyarakat yang seolah-olah telah berhadapan satu sama lain, mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga terjadi keretakan yang makin meruncing, menajam, dan makin ekslusif akibat terbelah menjadi kelompok yang mendukung Megawati dan Habibie untuk presiden mendatang.” (Kompas, 21 Juli 1999)


Celakanya, penyelesaian yang dipilih tidak didasarkan pada perhitungan hasil suara pemilu melainkan melalui manuver-manuver politik tingkat tinggi. MPR bukan memilih salah satu dari dua kandidat melainkan malah mengajukan satu calon lain yang sama sekali tidak terlibat dalam kompetisi dari awal, Abdurrahman Wahid. Dari situ kita bisa melihat bagaimana para politisi mengelola pertentangan: konflik tidak dihadapi dengan respon positif tapi dihindari. Solusi damai dicapai bukan melalui kerelaan satu pihak menerima kemenangan politis pihak lain secara terbuka dan dewasa, melainkan dengan meniadakan pertentangan. Wahid dipilih bukan karena ia meraih suara terbesar rakyat, tapi karena kemungkinan resistensi terhadapnya diasumsikan paling kecil. Amin Rais, misalnya, secara terbuka menyatakan bahwa hanya Gus Dur yang bisa diterima semua golongan, karena ia dikenal dekat dengan TNI, Megawati, maupun Habibie (Kompas, 12 Agustus 1999). Dari pernyataan tersebut bisa dilihat bagaimana aspirasi rakyat diabaikan, karena yang lebih diperhitungnkan semata dukungan dari beberapa kelompok elit. Tapi hal itu sekaligus juga memperlihatkan betapa legitimasi Wahid berdiri di atas pijakan yang rawan dan problematis, karena pada dasarnya ia tidak memiliki basis dukungan politik real yang signifikan di parlemen. Sewaktu-waktu pendukung terbesarnya bisa berubah menjadi lawan yang bukan hanya kritis tapi bahkan bisa menjatuhkannya. Dengan hanya mengandalkan dukungan 11% suara yang benar-benar setia dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikannya, kursi kekuasaan Wahid, dengan demikian, disokong oleh sebuah aliansi yang tidak permanen seperti yang diperoleh Mahatir Mohammad melalui UMNO, misalnya, melainkan sebuah aliansi kepentingan jangka pendek yang bergantung pada sejauh mana konsesi-konsesi politik yang diberikan Wahid bisa memuaskan mereka. Kelak kondisi seperti ini terbukti menjadi salah satu penjelas struktural mengapa Wahid tidak sanggup bertahan sampai akhir periode jabatannya.

Meskipun demikian, dengan latar belakang ancaman perpecahan bangsa yang terus-menerus direproduksi tadi, terpilihnya Wahid telah menempatkannya sebagai, kalau bukan messiah, seorang pahlawan baru. Orang yang tiba-tiba muncul jadi penyelamat bangsa dari potensi kehancuran—yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan. Waktu itu beberapa orang politisi dan pengamat politik bahkan menyambut Wahid sebagai “berkah Tuhan” untuk bangsa. Karena itu pada kasus Wahid pun kita bisa melihat kecenderungan masih besarnya obsesi untuk melekatkan kemuliaan pada kekuasaan di kalangan kelompok elit politik di negeri ini. Tidak ada sumber informasi yang terpercaya tentang apakah obsesi kaum elit tersebut bisa dianggap refleksi dari obsesi yang sama pada level masyarakat yang lebih luas. Untuk sekedar komparasi sederhana bisa dikatakan bahwa kalau Soekarno dianggap Ratu Adil, masih cukup segar dalam ingatan bagaimana Wahid dianggap sebagai figur yang mendapat dukungan “suara dari langit”.[12]

Wahid, dengan demikian, dianggap memiliki legitimasi dari dua arah sekaligus: realitas politik bahwa ia tidak akan menghadapi resiko penentangan dari kekuatan-kekuatan politik yang bertikai, dan berkah lumen supra naturaleatau wahyu dari langit yang akan memberkati tahtanya. Ini jelas mencerminkan kepercayaan yang tipikal Jawa bahwa kekuasaan dianggap temporal tapi sekaligus juga kosmis. Dalam sebuah masyarakat politik dengan tradisi panjang kepercayaan pada mesianisme[13], pernyataan seperti itu tentu saja bisa diartikan bahwa tahta yang akan diberikan kepada Wahid bukan semata kekuasaan sekular melainkan juga amanat suci spiritual. Kuasa yang menyatu tubuh dengan kemuliaan. Kalau pernyataan tentang “suara langit” itu bisa dianggap sebagai sebuah indikasi, maka utopisme penyatuan kuasa dan kemuliaan berarti bukan hanya tipikal Jawa-Hindu melainkan juga Jawa-Islam. Ungkapan Arab yang terkenal seperti “baldatun toyibatun warrabun ghafur” tampaknya menemukan padanannya dalam ungkapan utopis versi Jawa “gemah ripah loh jinawi”. Karena keterbatasan waktu, saya belum bisa menemukan rujukan yang memadai tentang apakah ini bisa dijelaskan sebagai sebuah kecenderungan berpautnya utopia politik versi Jawa-Hindu dan Islam, ataukah hal itu semata didorong oleh kepentingan politik jangka pendek kelompok Islam di parlemen dan MPR untuk menegasikan peluang Megawati.

Apakah dukungan melalui bisikan “suara dari langit” bisa melebihi paksaan perimbangan peta kekuatan politik di dunia empirik, akan segera tampak sebelum kekuasaan Wahid berumur satu tahun. Yakni ketika euphoria jatuhnya Seoharto berbenturan dengan desakan tantangan-tantangan besar yang muncul baik sebagai akibat krisis ekonomi berkepanjangan maupun akibat dari begitu intensifnya proses pragmentasi kekuatan-kekuatan politik sebagai konsekwensi keterbukaan politik paska Orde Baru. Ketika itulah kapasitas manajerial yang lebih rasional dibutuhkan untuk menyelesaikan soal-soal yang langsung menyangkut kehidupan konkret rakyat daripada pemimpin yang hanya mengandalkan intuisi supranatural seperti Wahid[14].

Hanya butuh satu tahun setelah Wahid dilantik oleh MPR, “berkah Tuhan” itu kemudian berbalik menjadi sejenis “kutukan” ketika alih-alih berhasil membawa Indonesia ke luar dari krisis, Wahid malah lebih banyak menampilkan dirinya, sekurang-kurangnya di mata lawan-lawan politiknya, sebagai bagian dari penyebab krisis itu sendiri. Kalau semula semua prilaku kontroversial dan gaya kepemimpinan Wahid cenderung disambut sebagai angin segar dalam politik para elit, lambat laun semua berbalik justru menjadi pangkal tolak dari mana para pengamat dan lawan politiknya mendapatkan sebagian amunisi untuk melakukan kritik tajam terhadapnya. Dalam sebuah seminar untuk memperingati satu tahun pemerintahan Wahid yang diselenggarakan oleh harian The Jakarta Post di Jakarta, misalnya, Mochtar Pabottingi secara sangat kritis melihat prilaku Wahid berbahaya bagi kehidupan politik modern di Indonesia. Di mata Pabottingi, Wahid adalah seorang presiden yang lebih percaya pada mistik dan takhayul daripada pertimbangan-pertimbangan rasional, sehingga karena itu ia tidak layak dipertahankan sebagai pemimpin nasional. Kepemimpinan Wahid dinilai tidak efektif tidak pula mencerahkan rakyat melainkan justru menyesatkannya. Kritik Pabottingi tentu saja dengan jelas memperlihatkan bagaimana penjungkirbalikan persepsi telah terjadi tentang “suara langit’, dari semula sebagai berkah menjadi sekedar bentuk-bentuk mistisisme dan sumber takhayul politik yang juga bisa ditemukan baik pada zaman Soekarno maupun era Soeharto.


Desakralisasi Kuasa: Messiah atau Accidental Hero?
Abdurrahman Wahid adalah kontoversi di dalam dirinya sendiri[15]. Setelah era kekuasaan Soekarno tidak ada momen politik Indonesia yang lebih menguras energi masyarakat daripada era Wahid kemarin. Dalam dua tahun kekuasaannya ia telah memberi hal-hal kontradiktif bagi kita: supremasi sipil atas militer (Kompas, 8 Februari 2000) dan demokratisasi pada sisi positif, dan kemelut politik yang kontraproduktif di sisi lain. Akibatnya, seluruh kekuatan bahu membahu bukan mengatasi kesulitan akibat krisis, melainkan membuka lahan-lahan pertikaian dan saling baku kecam di segala lini. Tampaknya sebagian masyarakat berhenti memahami sikap kontroversial Wahid sebagai sesuatu yang berakhir di dalam dirinya sendiri. Padahal jika dikaji lebih dalam, konsekwensi tidak terduga dari prilaku seperti itu bisa jauh melampaui polemik wacana dan pertentangan politik entar elit yang ditimbulkannya. Dalam subbagian ini saya akan mencoba memeriksa bagaimana sisi kontroversial Wahid membawa pada apa yang mungkin bisa disebut proses desakralisasi kuasa, dan telah mengantarkannya pada sebuah nasib politik yang sangat tragis.

Kalau baik Soekarno maupun Soeharto, di luar beberapa perbedaan mendasar dalam karakter individualnya, membagi bersama sebuah watak yang cenderung menarik dan membentuk kekuasaan menjadi sumber wibawa dan kharisma personal, Habibie mungkin tanpa disadarinya sendiri telah memulai proses desakralisasi kekuasaan menjadi sesuatu yang lebih manusiawi. Wajah kekuasaan Habibie tidaklah berkilau seperti Soekarno atau dingin dan berwibawa seperti Soeharto tapi jenaka dan ramah. Sejak itu persepsi masyarakat Indonesia tentang kekuasaan mulai mengalami pergeseran. Dalam satu tahun Habibie telah berhasil meletakkan sebuah dasar yang cukup penting bagi pemisahan antara kekuasaan politik dan kemuliaan spiritual.

Wahid kemudian mendorong proses ini ke titik ekstremnya yang paling jauh dengan menjadikan kekuasaannya sama sekali kehilangan aura kharismatik. Setiap hari Wahid seperti sedang melecehkan sakralitas tahta, mendekonstruksi kekuasaan menjadi sesuatu yang tidak lagi menyiratkan wibawa yang sanggup membuat orang tepekur penuh takzim. Selama berkuasa Wahid mungkin memang tidak bisa memberikan pertumbuhan ekonomi maupun stabilitas politik. Tapi ia juga tidak pernah membunuh satu pun rakyatnya. Yang dilakukannya adalah apa yang mungkin secara tentatif bisa dianggap sebagai sebuah subversi pada kesadaran masyarakat kita untuk menerima sebuah kekuasaan yang memiliki wajah lebih manusiawi. Desakralisasi tersebut sempurna secara fisikal ketika dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju T (T-shirt) Wahid, yang sudah dipecat oleh MPR, melambai-lambaikan tangan dari teras istana kepada para sahabat yang mencintainya.

Selama dua tahun di kursi presiden Wahid telah membuka dirinya lebar-lebar terhadap segala jenis tilikan, sedemikian terbukanya sehingga lebih sering ia sendiri justru tertikam oleh kebebasan yang diciptakannya. Lebih dari itu, ia bahkan juga membuka pintu istana—simbol tertinggi kesatuan kuasa dan kemuliaan--untuk rakyat lebih lebar bahkan daripada pintu gedung wakil rakyat sendiri. Hal yang penting dalam konteks ini adalah lenyapnya jarak antara kuasa dan objeknya telah menghapuskan aura atau kharisma yang secara tradisional biasa diandaikan memancar dari setiap pemangku kekuasaan. Tesis Walter Benjamin (1982) tentang reproduksi mekanis dalam jumlah massal yang telah melenyapkan aura objek-objek historis dan alamiah bisa diberlakukan sebagai analogi dalam konteks ini. Reproduksi massal telah menghapuskan jarak antara sebuah objek dengan khalayaknya, sehingga apa yang disebut Benjamin sebagai fenomena unik sebuah distansi yang menghasilkan aura juga sirna karenanya.

Melalui forum dialognya setiap selesai shalat Jum’at, bermacam-macam lelucon yang kadang-kadang terkesan vulgar dalam standar tatakrama yang ada, dan sekian banyak pernyataan kontroversialnya Wahid, mungkin tanpa sadar, juga telah meniadakan jarak atau distansi kuasa yang mulia dengan rakyat yang mendengarnya, sehingga tidak ada lagi pancaran auratik baik dari setiap kalimat yang diucapkannya mapun dari setiap penampilan personalnya. Laku-laku spiritual dan supranaturalnya, seperti kebiasaan berziarah ke tempat-tempat keramat, itu alih-alih mendatangkan sebuah kuasa yang kemilau oleh aura kemuliaan malah justru menjadikannya semakin kehilangan kepercayaan publik.

Satu hal lain yang juga besar pengaruhnya dalam proses lenyapnya distansi tersebut adalah peran media massa. Wahid mungkin merupakan contoh terbaik tentang bagaimana seorang tokoh bisa muncul sebagai pahlawan untuk kemudian berakhir sebagai pecundang politik sebagai ekses politik kebebasan media massa di sebuah negeri yang baru saja terlepas dari rezim otoritarian. Karena hubungan baiknya dengan dan pilihan gaya politiknya yang lebih terbuka terhadap para wartawan, hampir setiap hari Wahid muncul dalam pemberitaan media massa, sehingga karena itu ia seperti sebuah objek historis yang terus menerus mengalami reproduksi secara mekanis dan massal. Dugaan yang bisa dikemukakan di sini adalah, seperti objek historis apa pun yang diproduksi dan direproduksi dalam jumlah besar akan mengalami inflasi, reproduksi suksesif dan sangat massal citra kontroversial Wahid dalam media massa juga telah mengurangi penilaian, atau sebut saja inflasi kesan, masyarakat terhadap keutamaan pribadinya sebagai seorang pemimpin yang baik.

Kalau klaim kedekatan Soekarno dengan rakyatnya memberi dia sumber-sumber politik untuk menciptakan mitos dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”, kedekatan Wahid dengan rakyatnya, terutama kalimat-kalimat dan gaya kontroversialnya, justru telah menelanjangi tabir mitos tentang ideal seorang pemimpin utama. Perbedaan seperti itu tentu saja sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, tapi karangan ini tidak dimaksudkan untuk itu. Cukuplah untuk dikatakan bahwa kalau dalam tradisi Jawa perkataan seorang raja adalah undang-undang yang harus ditaati, dalam kebiasaan Wahid ucapan-ucapannya, bahkan beberapa keputusan resminya dalam bidang politik, tidak lebih dari serangkaian pernyataan yang bisa disanggah atau dikritik siapa saja. Tidak akan terlalu mengagetkan jika kelak Wahid akan dikenang sebagai presiden Indonesia yang berani membiarkan dirinya menjadi sasaran kritik bahkan yang paling menyakitkan sekali pun.

Sebelum jadi presiden, terutama oleh mereka yang mempercayainya, sosok Wahid mungkin dianggap manifestasi kemuliaan watak tipikal seorang wali: anti kemapanan, kukuh pada pendirian bahkan cenderung keras kepala, percaya diri secara berlebihan, kontroversial, a round peg in a square hole. Untuk memakai perumpamaan Soren Kierkegaard Wahid adalah “sebuah huruf yang ditulis terbalik dalam sebaris kalimat”. Sementara sebagian orang mungkin akan menganggapnya gila, sebagian yang lain justru melihatnya sebagai jenius. Tapi dalam posisi sebagai presiden, seluruh prilaku dan ucapan kontroversial Wahid jelas telah merontokkan utopisme tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan. Dan kita ramai-ramai menyesali hal itu. Wahid akhirnya jadi semacam gangguan bagi mimpi terindah kita tentang seorang umara yang manunggal dengan ulama yang diharapkan akan secepatnya membebaskan rakyat dari kesengsaraan multidimensi.

Tanpa sadar kita seperti ingin mengurung prilaku dan ucapan Wahid dalam imperatif-imperatif kategoris yang kita bayangkan sendiri. Tapi dalam kenyataan gaya dan terutama performa kepemimpinan Wahid terbukti lebih banyak mengacaukan bayangan itu. Di situlah kita melihat irasionalitas hanya akan menghasilkan irasionalitas berikutnya: Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, bayangan tentang kemuliaan sebuah kuasa berbalik total menjadi penistaan. Desakralisasi tahta berbuah proses deligitmasi politik dan pelecehan diri sendiri secara personal. Dalam sejarah politik modern Indonesia, Wahid mungkin merupakan presiden yang paling banyak dinistakan secara terang-terangan di depan publik. Di Jakarta beberapa mahasiswa demonstran melakukan aksi protes yang sulit disebut beradab: memparodikan Wahid dengan terutama melecehkan cacat fisik kebutaan mata yang dideritanya. Di Makasar para demonstran konon beramai-ramai membakar dan merazia foto-foto resmi presiden Wahid. Tapi tidak satu pun dari mereka yang masuk penjara karenanya.

Perubahan konteks historis zaman Soekarno dan Soeharto ke arah keterbukaan politik di zaman Wahid telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat Indonesia menyikapi prilaku pemimpinnya. Pada level perimbangan kekuatan politik, prilaku Wahid berakibat fatal berupa hilangnya kemampuan untuk memelihara dukungan mayoritas parlemen. Sementara pada level yang lebih luas, ditambah oleh kondisi ekonomi yang makin memburuk, prilaku Wahid secara cepat mulai mendatangkan penolakan terbuka dari beberapa kalangan masyarakat. Seorang warga di Medan, misalnya, mengungkapkan kekecewaannya atas kepemimpinan Wahid dalam kalimat-kalimat berikut:


“Gus Dur itu kan bukan raja zaman dulu yang bisa mengatur negara ini seenak dia. Kalau dia mau begitu, lebih baik turunkan saja sekarang karena ulahnya selama ini telah banyak menyengsarakan rakyat. Pemerintah bukannya bantuin rakyatnya yang masih trauma dengan krisis ekonomi, tapi malah dicekik lagi dengan menaikkan pajak, harga BBM, listrik, dan barang-barang. Sebagai rakyat kecil saya hanya ngerti pemerintah hanya membuat kami lebih melarat” (Kompas, 27 Mei 2001)


Maka kalau pun ada sisi lain Wahid yang perlu dicatat, itu adalah keberaniannya mengambil resiko dinistakan oleh orang-orang yang semula menaruh harapan terlalu besar. Sebagai sebuah pribadi Wahid pasti dikenang sebagai seorang yang ramah, outspoken dan jenaka. Tapi sebagai presiden ia jadi terkesan tidak memiliki kemampuan pengendalian diri—yang secara tradisional dianggap sebagai satu syarat penting untuk meraih kemuliaan. Akibat ulahnya sendiri Wahid, dengan kalimat lain, menggenggam kuasa yang, paling tidak dalam anggapan mereka yang mempercayainya, telah ditinggalkan oleh aura kemuliaan.

Secara struktural posisi Wahid semakin sulit ketika selain terjebak dalam konflik dengan sesama elit politik ia juga tidak berhasil menciptakan perbaikan ekonomi, tidak memiliki rumusan-rumusan yang tegas tentang langkah-langkah penanggulangan krisis, juga terbongkarnya beberapa kasus korupsi dalam skala besar yang banyak diduga justru melibatkan dirinya. Padahal rakyat telah terlalu banyak berharap akan adanya sebuah pemerintahan yang bersih yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka sekelas Wahid. Kombinasi faktor-faktor tersebut telah mempercepat proses disilusi masyarakat atas kesatuan kuasa dan kemuliaan pada diri satu orang pemimpin, sehingga proses kejatuhan Wahid secara radikal jauh lebih cepat dibanding yang terjadi pada Soekarno apalagi Soeharto. Hasilnya: ia dihempaskan dari tahta sebelum waktunya. Daripada seorang messiah Wahid ternyata jauh lebih tepat kalau disebut seorang accidental hero, seperti karakter dalam sebuah film Holywood yang diperani oleh Dustin Hoffman dan Andi Garcia yang cukup populer tahun 1990an.

Epilog
Era Wahid sekarang telah tamat. Ia dipecat tanpa kehormatan oleh sebuah lembaga yang sama sekali tidak memiliki akuntabilitas publik, MPR. Suka atau tidak suka secara politis kita hanya boleh punya satu presiden. Tapi tahta Megawati Soekarnoputri mungkin akan tetap jadi bahan diskusi yang menarik, bukan saja karena ia presiden perempuan pertama, tetapi juga karena proses yang melatarbelakanginya masih menyisakan beberapa soal problematis. Diakui atau tidak, kita menyaksikan banyak hal yang belum sepenuhnya bisa diterima setelah sebuah sidang istimewa berakhir, dan seorang presiden dimakzulkan.

Upaya terakhir Wahid untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001, itu selain terbukti sia-sia secara politik juga justru menempatkannya pada sebuah posisi yang problematis. Konkretnya, apakah Wahid harus dikenang sebagai seorang demokrat yang kalah perang atau seorang diktator yang impoten secara politis? Problem di atas juga akan membawa kita pada pertanyaan tentang peran beberapa tokoh utama yang jadi lawan politik Wahid ketika itu. Sejauh menyangkut peran historis Amien Rais, misalnya, pertanyaannya adalah, apakah ia seorang king maker yang sangat cerdas mengelola sumberdaya politik bagi kepentingan rakyat banyak, ataukah ia hanya pantas dikenang sebagai seorang petualang politik yang hipokrit?

Di lain pihak, saat ini kita dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis, yakni memilih antara seorang pemimpin yang charming, outspoken tapi tidak terampil mengurus birokrasi dan ekonomi, atau seorang administrator yang cekatan dan efektif tapi berpersona beku kaku seperti sudut-sudut meja. Kalau Wahid mungkin lebih mirip Habibie bahkan Soekarno, Megawati kemungkinan besar akan jauh lebih mirip Soeharto: tidak banyak cakap, penuh pertimbangan, serba formal birokratis, cenderung feodal dan konservatif.

Bertolak belakang dengan Wahid, secara personal Megawati mungkin memang tidak memiliki keistimewaan selain bahwa ia punya riwayat geneologis kekuasaan: di tubuhnya mengalir darah Soekarno. Ia bukan seorang wali atau ulama, bukan pula seorang jenderal sekelas Seoharto atau ilmuwan terpandang di dunia internasional seperti Habibie. Megawati hanya seorang ibu rumah tangga yang, melalui pelbagai proses politik, kontras dengan apa yang terjadi pada Wahid, menempatkannya sebagai korban penindasan, dan meraih simpati besar rakyat yang sebab-sebabnya sebagain besar bisa dijelaskan dengan merunut garis geneologis politik populis Soekarno. Dalam hal kapasitas intelektual, misalnya, kalau di balik segala kontroversi yang ditimbulkannya Wahid masih sanggup mendatangkan rasa segan kaum cendikia, Megawati sejak awal justru diragukan kemampuannya. Di luar kemampuan responsifnya yang sangat lamban untuk seorang pemimpin modern, dalam hal-hal lain Megawati terkesan lebih banyak mirip Cory Aquiono yang lembut, peragu, dan secara politis tidak menjanjikan daripada Aroyo Macapagal yang tampak gesit dan cerdas. Tapi mungkin karena itu ia layak diberi kesempatan.

Yang perlu ditakutkan adalah kalau Megawati juga menyimpan obsesi untuk meniru ayahnya: menjadi pusat pertemuan antara kemuliaan paling puncak dan kekuasaan paling mutlak. Negeri ini telah berkali-kali kehilangan peluang untuk mendirikan sebuah institusi politik rasional dalam bentuk negara modern. Kita sudah terlalu lama hidup dengan kerinduan obsesif pada Sang Penyelamat. Berkali-kali kita seperti hanya mengulang kebodohan yang sama: menghamburkan energi secara besar-besaran hanya untuk membiayai sebuah harapan kosong. Setiap kali itu pula kita merasakan bagaimana akal sehat selalu muncul belakangan, ketika segala harapan sudah runtuh, dan kerinduan berubah jadi kecamuk rasa bosan.

Kalau kita hendak sedikit optimis, ada semacam berkah tersembunyi dari jatuhnya beberapa rezim kekuasaan modern di Indonesia: negeri ini tidak membutuhkan Sang Penyelamat, melainkan kesungguhan untuk menghidupkan akal sehat sehingga sebuah kuasa tidak berpeluang menjadi tiran, dan kemuliaan spiritual tidak melulu memproduksi dogma. Manunggalnya kuasa dan kemuliaan adalah bagian dari pesona, mitos masa silam yang harus ditanggalkan kalau kita sepakat hendak mengelola negara modern dengan landasan akal sehat sejak awal. Kemuliaan tidak pantas dilekatkan pada sebuah kuasa, terutama karena begitu mudah sebuah kuasa membelot jadi tirani yang akan membungkam potensi kecerdasan sebuah bangsa dengan dogma-dogma.

Tidak Soekarno, tidak pula Soeharto sanggup mencegah itu. Keduanya lumat oleh aura sebuah kuasa yang terlampau mulia dan kemuliaan yang begitu penuh kuasa. Wahid menjadi contoh terakhir tentang munculnya disilusi masyarakat terhadap mitos tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan justru oleh ulahnya sendiri. Munculnya disilusi masyarakat atas harapan-harapan besar yang sempat dibebankan pada Abdurrahman Wahid, seperti diuraikan di atas, telah memberi kita sebuah gambaran tentang bagaimana persepsi bahkan faham masyarakat tentang kekuasaan telah mulai mengalami perubahan. Di kalangan masyarakat luas, deligitmasi politik yang menimpa Wahid ternyata tidak banyak dilihat sebagai proses spiritual atau supranatural lepasnya “suara langit”, wahyu keprabon atau pulung, melainkan lebih sebagai sebuah konsekwensi logis dalam dunia politik. Persoalannya kemudian barangkali adalah bagaimana perubahan pada level masyarakat tersebut juga bisa terefleksikan pada prilaku wakil-wakil politik mereka di tingkat atas. Tapi dari kasus Wahid paling tidak kita bisa belajar bahwa pemisahan itu memang mungkin.

Writed by : putery nia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar