Total Tayangan Halaman

Jumat, 17 Desember 2010

SOCIAL NETWORK DARI AGORA HINGGA JEJARING SOCIAL LEWAT DUNIA MAYA

A. sejarah
Pada awal kehidupan di dunia, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan.

Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, transaktif, bertujuan, atau tak bertujuan.

Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.

Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik”, topik ini menjadi penting khususnya pada abad 20 karena pertumbuhan komunikasi digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner”, hal ini dikarenakan peningkatan teknologi komunikasi yang pesat seperti radio. Televisi, telepon, satelit dan jaringan komuter seiring dengan industiralisasi bidang usaha yang besar dan politik yang mendunia. Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen sendiri dimana komunikasi dibagi-bagi menjadi komunikasi masa, komunikasi bagi pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya akan tetap. Pekerjaan dalam komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri. Mencari teori komunikasi yang terbaik pun tidak akan berguna karena komunikasi adalah kegiatan yang lebih dari satu aktifitas. Masing-masing teori dipandang dari proses dan sudut pandang yang berbeda dimana secara terpisah mereka mengacu dari sudut pandang mereka sendiri.

di mulai dari agora
yang merujuk pada ruang terbuka dimana orang dapat bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Istilah muncul pertama kali pada era Yunani Kuno, Agora dianggap sebagai cikal bakal ruang publik pertama.

Di Agora terdapat kegiatan perdagangan, diskusi antarwarga tentang berbagai topik menyangkut politik atau ide-ide besar seperti pemikiran Plato dan Aristoteles waktu itu. Sekarang bentuk telah terepesentasi sebagi bentuk awal dari demokrasii, di mana semua orang bebas mengemukakan pendapat.
sampai kmunikasi social network saat ini yang biasa kita jamah sehari-harinya.
Social Networking atau Jaringan Sosial merupakan konsep pengembangan yang bisa dimanfaatkan didalam dunia pendidikan. Social networking diaplikasikan kedalam bentuk situs jejaring sosial. Selain berguna untuk menjalin silaturrahim juga berguna untuk menunjang didalam meningkatkan efektifitas belajar. Bentuk social networking ini dapat dikembangkan dengan cara membentuk komunitas berupa kelompok belajar dan diskusi sesuai dengan minat dan bidang orang-orang yang terlibat didalamnya.
Situs social networking atau dengan istilah lainnya situs jejaring sosial terus melakukan pengembangan. Kita bisa memanfaatkan situs jejaring sosial seperti facebook (http://www.facebook.com), My Space (http://www.myspace.com), Friendster (http://friendster.com), Library Thing (http://www.librarything.com). Situs-situs ini bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk berinteraksi dengan teman, tetapi lebih dari itu dapat dimanfaatkan sebagai tempat berdiskusi kelompok belajar, tugas, ataupun berbagi informasi terbaru.

Bentuk-bentuk pembelajaran yang bisa dimanfaatkan menggunakan situs jejaring sosial ini seperti:

1.Membuatkan grup yang dengan yang membahas satu bidang misalnya sistem informasi.

2.Membuat batasan grup secara umum ataupun hanya terbatas daerah, sekolah ataupun terbatas pelajaran tertentu saja.

3.Membuat kelompok kecil yang terdiri dari belasan orang yang hanya menerima anggota setelah disetujui.

4.Mengirimkan pesan ke seluruh anggota dan meminta tanggapan
Potensi-potensi yang terdapat disitus jejaring sosial inilah dapat meningkatkan proses pembelajaran secara digital.
Selain potensi positif, juga terdapat bahaya untuk privasi atau area pribadi karena masing-masing pengguna mempublikasikan profil mereka secara terbuka. Untuk mengantisipasinya bisa dengan mengatur setting dan mempertimbangkan mana yang harus ditampilkan ke publik dan mana hanya untuk pribadi.



Social networking sekarang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada hari tanpa buka facebook, myspace, youtube (kayak yang dibilang Saykoji ) Facebook? Siapa yang nggak punya accountnya? Dari abang bakso sampai juragan singkong, semuanya punya. Tapi apakah pernah terpikir oleh orang-orang yang memakai seberapa kuatnya tool yang mereka pakai itu?

Social Networking adalah kegiatan menjalin hubungan dengan orang lain melalui social media sites / situs jejaring sosial yang ada di internet. Bisa diakses di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Dan tidak jarang juga, orang-orang yang “maenan” situs semacam ini dibilang melakukan kegiatan yang ngga mutu. Padahal status update pun memiliki potensi dengan dampak yang luas. Sayangnya, terlalu sering sebuah buku dinilai hanya dari sampulnya.
Manusia pada dasarnya memang sudah terkonfigurasi secara biologis untuk bersosialisasi. Kita semua ingin untuk bertatap muka dengan orang lain (kita bahkan memiliki kelebihan bawaan dari lahir untuk melakukan facial recognition!), berbagi satu sama lain, merasa terkoneksi, dan aspek-aspek lainnya dari kehidupan sosial.
Dulunya sangat susah bagi kita untuk bisa bertemu dengan banyak orang. Palingan pakai surat atau telegram. Kemudian datanglah telepon dan kemudian handphone yang mengakibatkan dompet kurus kering. Di satu sisi, memang tagihan pulsa yang ngga karuan adalah hal yang buruk, tetapi bila dilihat di sisi yang lain, ini adalah bukti nyata kebutuhan dasar sebagai manusia untuk berhubungan dengan orang lain.
Dan datanglah era internet dengan bentuk dasar yang tidak menghiraukan batasan apapun. Semua orang dapat terkoneksi di atas satu medium. Siapapun dapat mengakses situs apapun. Dan karenanya, saat sebuah situs jejaring sosial dimana orang-orang berkumpul disediakan, banyak orang secara alami tertarik untuk datang ke sana.
Kekuatan Social Networking ada pada motivasi setiap penggunanya
Ketik, ketik, ketik, tekan tombol share. Semudah itu kita memberikan akses untuk ratusan bahkan ribuan orang untuk bisa masuk ke sepenggal dari pikiran kita. Berbagi di social media itu pada hakikatnya sama seperti mengirim sms ke ratusan orang atau yang disebut juga dengan broadcasting. Dan poin yang paling crucial di sini adalah, orang-orang yang bisa melihat apa yang kita share adalah orang-orang yang memang sudah dari awalnya ada niat untuk berhubungan dengan kita!
Pikirkan hal itu baik-baik.
Bandingkan dengan usaha broadcasting konvensional seperti radio dan tv. Orang-orang yang melihat/mendengar iklan yang diputar memang luar biasa banyaknya. Tapi pertanyaannya, berapakah dari segitu banyaknya orang yang sebenarnya berminat? Dan kalaupun ada minat, sebenarnya minatnya untuk apa? Untuk sinetron yang sedang diputar, atau untuk iklan-iklan selingannya?
Orang-orang di friendlist kita adalah orang-orang yang perduli dan ingin tahu tentang kita. Ini adalah sekumpulan orang yang memiliki minat yang kuat dan jelas akan diri kita dan hal-hal yang berhubungan dengan kita. Dan karenanya, atensi yang diberikan untuk kita jelas lebih tinggi dibandingkan yang diberikan untuk orang yang bukan di friendlistnya. Mereka secara sukarela menyimak apa yang kita sampaikan. Dan karenanya kemungkinan mereka untuk meresponi jauh lebih besar. Dari situlah konversasi antara kita dan mereka tercipta dengan mudah.
Bayangkan pengaruhnya untuk bisnis kamu jika kamu menyampaikan, dengan cara yang benar, sebuah referral kepada orang-orang di friendlist kamu? Menurut kamu, seberapa tinggi kemungkinan mereka menyimak? Seberapa tinggi kemungkinan mereka untuk click-through dan take action?
Penyebaran secara luas dan cepat adalah properti dasar Social Networking
Orang sangat suka berbagi. Ada yang memang sifatnya suka memberi dan membagikan, dan ada juga yang melakukannya karena mereka bisa merasa diapresiasi atas informasi yang mereka berikan.
Itu sangat alamiah secara psikologis. Apresiasi yang diberikan, secara tidak langsung, mengangkat derajat dan reputasi mereka di dunia tersebut. Mungkin ini sedikit terkesan aneh, tetapi uang bukanlah segalanya di dunia internet. Atensi dan reputasi adalah sesuatu yang tidak kalah berharga dan hal ini juga diakui oleh search engine di dalam algoritmanya yang memfaktorkan popularitas sebuah website. Dan yang sangat mencengangkan adalah, seberapa cepatnya informasi yang kamu bagikan bisa menyebar. Thanks to fitur-fitur yang disediakan oleh situs-situs jejaring sosial -ReTweet untuk Twitter, Share untuk Facebook, dan Social Bookmarking- informasi bisa menyebar luas ke satu dunia dalam hitungan menit. Masih ingat kejadian bom di JW Mariott kemarin? Salah satu jurnalis di blog Mashable (basis di Amerika) sudah meliput tweet orang yang berada di lokasi kejadian dalam hitungan (4) jam.
Kemudahan penyebaran dari fitur-fitur yang disediakan ditambah dengan sifat berbagi dan keinginan untuk mendapatkan reputasi adalah turbin penggerak utama dari tenaga Social Networking. Ini bukan main-main, fellas. Ini nyata dan kamu beserta bisnis kamu bisa terjerat (baik dengan makna positif maupun negatif) di dalamnya mulai hari ini juga.


Mulai dari agora yang di sebut sebut oleh orang jaman dahulu sebagai tempat untuk berkumpul atau cikal bakal dari “mall””… semua itu melalui semua proses dan tahap yang memakan waktu lama . mulai dari agora yang hanya di dahului dan dikunjungi oleh beberrapa orang sampai dengan sekarang yang menjadi pusat perbelanjaan dan pusat rekreasi.

Lalu apa kegunaan dari social networking tersebut??
Di era globalisasi seperti sekarang ini, internet sudah menjelma sebagai
sebuah kebutuhan utama bagi banyak orang, karena dengan adanya internet, setiap orang, tak peduli latar belakang ekonomi maupun sosialnya, dapat mengakses dan menemukan segala informasi mengenai banyak hal dari ratusan bahkan jutaan sumber yang tersedia di seluruh dunia. Berbanding lurus dengan semakin mudah dan murahnya penggunaan internet saat ini, jumlah penggunanya pun tentu saja tak
dipungkiri ikut melambung tinggi, tak terkecuali di tanah air Indonesia.
Penggunaan internet sendiri, saat ini tidak lagi terbatas pada sekedar mencari informasi, tetapi sudah meluas hingga menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia tak terkecuali dunia bisnis dan ekonomi. Dalam sepuluh tahun terakhir, internet mulai dilirik oleh para pelaku bisnis baik yang berbentuk home industry hingga perusahaan-perusahaan multinasional sebagai media promosi yang menjanjikan melaui pemasangan iklan digital. Sedangkan dari segi sosial, selepas era WordPress yang memungkinkan pengguna internet untuk memiliki situs web mereka sendiri dalam bentuk Blog, sekarang dikenal istilah jejaring sosial atau social network.
Indonesia sendiri, sebagai salah satu negara berkembang dengan penduduk terpadat di dunia, memiliki reputasi sebagai negara dengan jumlah pengakses internet terbesar, terutama dalam hal penggunaan jejaring sosial atau social network. Jejaring sosial atau social network adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan,
dan sebagainya. Analisis jaringan sosial memandang hubungan sosial yang terdapat didalam jejaring sosial sebagai bentuk kesatuan dari simpul dan ikatan. Simpul adalah aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan adalah hubungan antar aktor tersebut. Keluwesan penggunaan internet pun memungkinkan terdapat banyak jenis ikatan antar simpul. Penelitian dalam berbagai bidang akademik telah menunjukkan bahwa jaringan sosial beroperasi pada banyak tingkatan, mulai dari keluarga hingga negara, dan memegang peranan penting dalam menentukan cara memecahkan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan seorang individu dalam mencapai tujuannya.
Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan sosial adalah peta
semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal sosial aktor individu. Konsep ini sering digambarkan dalam diagram jaringan sosial yang mewujudkan simpul sebagai titik dan ikatan sebagai garis penghubungnya. Selain memiliki fungsi sebagai media interaksi sosial, situs-situs jejaring sosial (social networking sites) punya fungsi
politis sebagai media komunikasi yang efektif bagi pemerintah untuk mendapatkan masukan langsung dari masyarakatnya. Sudah banyak situs jejaring sosial yang terkenal, seperti Friendster, Facebook, Hi5, MySpace, Plurk, Twitter, Tagged, hingga yang asli buatan anak bangsa sendiri, Fupei. Meningkatnya popularitas situs-situs pertemanan atau jejaring sosial akhir akhir ini tak lepas dari kekuatan ranah maya yang mampu memobilisasi massa dan mempengaruhi dunia nyata. Sebut saja penggalangan dukungan Facebookers untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui grup ”Gerakan 1.000.000
Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”, dalam hitungan hari pendukungnya mencapai sejuta lebih. Gerakan yang sama seblumnya dibuat untuk mendukung Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang ditahan karena berseteru dengan rumah sakit.
Saat ini, membentuk atau mendaftar menjadi anggota suatu jejaring social bukan perkara sulit. Sebab melalui internet, semua orang di belahan bumi manapun dapat berkomunikasi tanpa sekat ruang dan waktu. Persis seperti ramalan Marshall
McLuhan dalam Understanding Media: Extension of A Man pada awal tahun 60-anlalu, yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi komunikasi akan menjadikan dunia sebagai sebuah desa global (global village). Terbentuk dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan masif di masyarakat, serta sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Kini hal itu sudah terbukti. Global village menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat kebelahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi internet. McLuhan saat itu juga meramalkan bahwa pada saatnya nanti, manusia akan sangat tergantung pada teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi.
Kenyataan tersebut tidak dapat diingkari lagi. Bahkan Presiden Amerika
Serikat saat ini, Barack Obama, saat berkompetisi menjadi orang nomor satu di 3 negeri itu, telah memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung. Sehingga ia dinilai telah membuat tindakan inovatif dengan memindahkan politik kepresidenan masuk ke abad digital. Barack Obama memiliki situs jejaring sosial yang populer, antara lain Facebook, Twitter, My Space, Linkedin, Friendster, hingga You Tube.
Hasilnya?. Meski belum ada penelitian resmi berapa persen sumbangan suara yang didapat dari kampanye via jejaring sosial tersebut, Barack Obama kini sudah menempati Gedung Putih (The White House). Begitu juga “advokasi” para Facebookers terhadap Prita dan Candra-Bibit yang membuat mereka mendapat penangguhan penahanan. Kekuatan jejaring sosial tidak hanya dalam hal “dukung mendukung”, tapi juga sudah masuk ke berbagai dimensi kehidupan. Mulai dari mencari teman yang
tidak ketemu selama puluhan tahun, hingga mencari barang hilang. Tengok saja beberapa judul berita di media massa yang melibatkan situs jejaring sosial berikut: “Pemilik Kamera Ditemukan Lewat FB”, “Facebook Gagalkan Anak Bunuh Diri”,
“Facebook Bantu Tangkap Perampok” dan masih banyak lagi.
Semakin kuatnya pengaruh jejaring sosial di dunia maya ini, tak lepas dari perkembangan teknologi World Wide Web (WWW) yang melangkah ke era Web 2.0, dimana teknologi internet menjadi mudah diakses (open source) dan
memungkinkan semua pengguna saling memberi masukan (komunikasi dua arah), sehingga terjadilah demokratisasi dalam dunia digital.
Melihat realitas yang terjadi akibat pengaruh jejaring sosial, kekuatan ini
tidak bisa dianggap remeh. Apalagi saat ini informasi dan komunikasi sudah sangat terbuka. Begitu juga peran media massa dalam mentransformasikan pesan dari jejaring sosial ke khalayak yang lebih luas. Maka situs jejaring sosial bukan Cuma untuk berbagi urusan cinta dan sambal belacan. Lebih dari itu, jejaring sosial telah merevolusi komunikasi antarmanusia, bahkan komunikasi politik. “Virus” Jejaring sosial ini pun ternyata juga mampu memacu anak bangsa untuk berkreasi. Selama 5 tahun terakhir, ada banyak situs jejaring sosial asli dalam negeri yang eksis di dunia maya, mulai dari yang sudah “punya nama” seperti Fupei, Kombes, dan LiveConnector, hingga Digli, Adandu, TemanKuliah, KenalanYuk, YouFaceSter, FunPage, Ngecap, MyPulau, XL Funbook, dan masih banyak lagi yang mungkin belum terjamah oleh para penggila social network. 4 Melihat booming penggunaan jejaring sosial yang bak cendawan di musim
hujan ini, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari, baik itu positif maupun negatif. Diantara kegunaan yang ditawarkan oleh situs-situs jejaring sosial yakni memperluas hubungan atau pertemanan sesuai dengan namanya, social networking sites. Tentu dengan menggunakan sebuah jejaring sosial kita akan dapat memperkaya hubungan dan persahabatan serta memperluas jaringan ke seluruh
pelosok Nusantara bahkan hingga ke mancanegara. Barangkali, inilah manfaat terbesar yang bisa ditawarkan oleh situs-situs jejaring sosial.
Sedangkan dampak negatif dari jejaring sosial beberapa diantaranya adalahmembuka peluang terjadinya pencurian identitas seseorang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab akibat kemudahan yang ditawarkan ketika proses pendaftaran (sign up), kecanduan (addiction), dan dapat menyebabkan sikap anti-sosial. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya seseorang yang lebih memilih untuk duduk
berjam-jam hanya demi mengomentari kegiatan dan aktivitas seorang teman lewat layar komputer dibandingkan dengan bertemu langsung dan duduk bersama sambil
menikmati secangkir teh. Orang-orang yang bertindak seperti ini dikhawatirkan lama kelamaan akan kehilangan fungsi sosialnya sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Pada akhirnya, bagaimanapun pro-kontra yang berkembang ditengah masyarakat berusaha untuk menolak mendukung maupun menolak eksistensi jejaring sosial atau social network, ada satu hal yang tak mungkin kita pungkiri bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki hasrat untuk terus maju dan
berkembang, manusia tidak akan pernah berhenti berinovasi dan berkreasi. Terlebih lagi, perkembangan teknologi informasi yang tiap hari mengalami kemajuan pesat, akan sangat mendorong kemajuan situs-situs jejaring sosial pada masa mendatang.
Oleh karena itulah, yang perlu kita tekankan dalam membicarakan masalah kemajuan teknologi informasi yang mempengaruhi begitu banyak sendi-sendi kehidupan seperti ini, bukanlah mengenai perlu atau tidaknya, tetapi bagaimana kita bisa menyikapi, mengantisipasi dan me-manage penggunaan dan segala kenyamanan yang ditawarkan agar tepat guna, bermanfaat dan tidak terjadi pemakaian yang berlebihan (overusing).
Apa yang dimaksud dengan Internet
Posted by admin on March 31st, 2010
Internet adalah jaringan komputer yang saling terhubung secara global yang memungkinkan pengguna internet saling bertukar informasi/data melalui jaringan tersebut. Internet adalah sistem komunikasi data berskala global, suatu infrastruktur yang terdiri dari hardware dan software yang menghubungkan komputer yang berada di jaringannya.
Kemunculan internet dimulai pada 1966, oleh ARPA (Advanced Research Project Agency

Sistem Pembelajaran Friendster Secara Manual

1. Pengertian Friendster
Friendster adalah sebuah situs untuk melihat seluruh orang secara manual, dimana di situs itu berguna untuk melihat melihat teman-teman seperkenalan kita, baik yang pernah bertemu atau tidak. Dan juga friendster itu bisa meletakkan profile ( bioadata, fhoto, dsb ).

Untuk bisa menjadi anggota di Friendster tersebut. Terlebih dahulu kita harus punya E-mail. Jadi, nah kalo misalkan kita tidak memiliki E-mail, berarti kita harus mendaftar. Tapi jika sudah memiliki E-mail, berarti kita tinggal mendaftar secara langsung tanpa harus memikirkan lagi E-mail apa yang harus dimasukkan. Nah, agar kita bisa masuk ke dalam situs Friendster tadi, maka mulailah kita mendaftar. Dan cara-caranya adalah sebagai berikut :

1. Buka Internet Explorer atau Mozilla Firefox
2. Ketik Situs yang diingini, contoh (www.friendster.com)
3. Cari kalimat ==>> Sign Up
Sign Up artinya kita masuk untuk mendaftar di friendster.
4. Setelah klik Sign Up, maka akan muncul tempat pendaftaran tersebut.
5. Isilah pendaftaran tersebut dengan lengkap. Turuti perintah didalam pendaftaran tersebut
6. Kemudian klick Register.
8. Nah, dengan munculnya kalimat tersebut, lalu kita klick Home.


Home artinya kita masuk untuk melihat apakah kita sudah sukses terdaftar. Berarti untuk
mendaftar kita udah selesai..

FACEBOOK
Apa pengertian facebook:
Facebook adalah situs web jaringan sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti .edu, .ac.uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs ini.

Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan dengan alamat surat-e apa pun dapat mendaftar di Facebook.Pengguna dapat memilih untuk bergabung dengan satu atau lebih jaringan yang tersedia, seperti berdasarkan sekolah tingkat atas, tempat kerja, atau wilayah geografis.

Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serika, mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya.

APA PENGERTIAN BLOG ???

Apa sih Blog itu ?

Blog merupakan singkatan dari "web log" adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.


Sejarah

Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh PyraLab sebelum akhirnya PyraLab diakuisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002 yang lalu. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan kepada perkembangan para penulis blog tersebut.

Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian, media publikasi dalam sebuah kampanye politik, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis. Banyak juga weblog yang memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan, namun demikian ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif.

Situs-situs web yang saling berkaitan berkat weblog, atau secara total merupakan kumpulan weblog sering disebut sebagai blogosphere. Bilamana sebuah kumpulan gelombang aktivitas, informasi dan opini yang sangat besar berulang kali muncul untuk beberapa subyek atau sangat kontroversial terjadi dalam blogosphere, maka hal itu sering disebut sebagai blogstorm atau badai blog.


Budaya populer

Ngeblog (istilah bahasa Indonesia untuk blogging) harus dilakukan hampir setiap waktu untuk mengetahui eksistensi dari pemilik blog. Juga untuk mengetahui sejauh mana blog dirawat (mengganti template) atau menambah artikel. Sekarang ada lebih 10 juta blog yang bisa ditemukan di Internet. Dan masih bisa berkembang lagi, karena saat ini ada banyak sekali software, tool, dan aplikasi Internet lain yang mempermudah para blogger (sebutan pemilik blog) untuk merawat blognya. Beberapa blogger kini bahkan telah menjadikan blognya sebagai sumber pemasukan utama. Sehingga kemudian muncullah istilah profesional blogger, atau problogger, orang yang menggantungkan hidupnya hanya dari aktivitas ngeblog.

source : http://id.wikipedia.org/wiki/Blog
Apa yang dimaksud dengan Twiter?

banyak orang yang lagi ngomongin twiter?
bisa dijelaskan apakah twiter itu???
Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak
Twitter adalah suatu situs web layanan jaringan sosial dan mikroblog yang memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengirimkan "pembaharuan" berupa tulisan teks dengan panjang maksimum 140 karakter melalui SMS, pengirim pesan instan, surat elektronik, atau aplikasi seperti Twitterrific dan Twitbin. Twitter didirikan pada Maret 2006 oleh perusahaan rintisan Obvious Corp.
materi referensi:

Kesuksesan Twitter membuat banyak situs lain meniru konsepnya, kadang menawarkan layanan spesifik lokal suatu negara atau menggabungkan dengan layanan lainnya. Suatu sumber bahkan menyebutkan bahwa paling tidak ada 111 situs web yang memiliki layanan mirip dengan Twitter


kalo gak salah sih itu....
Twitter contohnya ini : http://twitter.com/labnol
Orang bisa nulis (tulisan pendek) mirip SMS dan akan dipubliaksikan seperti Blog.

Orang lain bisa mengikuti (sebagai follower). Misal saya jadi follower www.twitter.com/labnol (LABNOL).
Maka di Tweeter saya akan muncul info" singkat terbaru dari LABNOL.

Jika perlu daftar aja, asik juga juga anda punya banyak waktu luang di internet
MENGETAHUI TENTANG MYSPACE SERTA FITUR-FITURNYA
Pernah mendengar istilah MySpace? Sebagian orang mungkin ada yang pernah mendengarnya dan sebagian lagi belum pernah. Lantas, adakah yang tahu apa pengertian MySpace itu sendiri? Mari, kita obati rasa penasaran kita tentang situs jejaring sosial yang satu ini.
Kini, mengupdate status mungkin merupakan daftar kegiatan baru yang harus masuk pada jadwal kegiatan harian kita. Menjalarnya situs jejaring sosial ini memberikan efek positif sekaligus negatif bagi kita.
Bertemu dengan teman-teman lama yang entah di mana keberadaannya merupakan salah satu hal positif dari adanya situs jejaring sosial ini, namun jika kita menjadi kecanduan maka berhati-hati saja, bisa jadi aktifitas harian kita akan jadi berantakan.
Banyak daftar situs jejaring sosial yang kita kenal. Dari yang paling tua kita kenali, yaitu friendster sampai yang sedang booming saat ini, yaitu facebook. Namun banyak juga situs jejaring sosial yang lain seperti twitter, ataupun MySpace.
Pengertian MySpace sendiri yaitu situs jejaring sosial yang memiliki jaringan terbesar di dunia. Keunggulan dari MySpace sendiri yakni dengan menggunakan MySpace kita dapat mempromosikan musik-musik hasil kreasi kita ke seluruh dunia.
MySpace merupakan produk dari perusahaan News Digital Media yang dipunyai oleh News Corporation. Kantor pusat MySpace terletak di Beverly Hills, California, dengan jumlah karyawan kurang lebih sekitar 1000 orang.
Terdapat beberapa fitur menarik yang ditawarkan situs ini untuk dapat dinikmati oleh pengguna setianya. Berikut ini merupakan fitur-fitur yang dimaksud.
1. Moods
Moods merupakan emosikon kecil untuk mengekspresikan suasana hati para pengguna MySpace.
2. Blurbs, Blog, Multimedia
Blurbs sendiri terbagi pada 2 bagian, yaitu About Me dan Who I’d Like to Meet.
Blog sendiri adalah aspek standar untuk isi, emosi, dan media.
Multimedia yang ditawarkan, yakni pengeditan foto pada Foto Flexer yang tidak hanya terdapat fasilitas memotong gambar,dan mengatur kontras. Namun, ada pula fasilitas mengubah foto menjadi kartun. Selain itu foto juga dapat dibuat berbentuk slide show.
3. Komentar
Ini merupakan bagian yang dapat diisi komentar oleh teman-teman kita yang dapat dibaca oleh siapa pun.
4. Profil Kustomisasi
Yakni kita sebagai penguna dapat mengubah penampilan umum halaman dengan memasukkan CSS untuk menimpa gaya default halaman MySpace tersebut. Umumnya hal ini digunakan untuk memilih font dan warna.
5. Musik
Pada profil musik ini merupakan ajang bagi para musisi dan band-band untuk mengunggah lagu-lagu mereka dengan format MP3. Syaratnya, si pengunggah harus memiliki izin menggunggah lagu tersebut atau lagu tersebut merupakan karya asli buatan sendiri.
MySpace juga mempunyai label rekaman sendiri sehingga tak heran jika lewat jejaring sosial ini banyak ditemukan orang-orang muda berbakat. Tercatat sekitar delapan juta seniman yang ditemukan oleh MySpace.
www.AnneAhira.com

Nah, coba bayangkan apa yang akan terjadi pada 20 tahun yg akan datang ??? pastinya kita sudah tidak mengenal lagi yang namanya facebook,twitter,myspace dsb .mungkinkah kita akan mengenal DUNIA ini dengan jaringan social yang lebih canggih lagi atau sebaliknya ???...

Writed by : putery nia

AGORA DAN MALL

PENGERTIAN AGORA DAN MALL
Apa yang disebut agora? Agora yang dalam bahasa yunani “Ἀγορά, Agorá “ adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunan kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, Agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar Agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata dalam bahasa Yunani: αγοράζω, agorázō, "aku berbelanja", dan αγορεύω, agoreýō, "aku berbicara di depan umum".

Sementara itu apa arti dari mall? Mall adalah gedung atau kelompok gedung yg berisi macam-macam toko dng dihubungkan oleh lorong (jalan penghubung). Di indonesia sendiri pengertian mall adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutrup dengan suhu yang diatur dan memiliki jalur untuk berjalan – jalan yang teratur diantara antar toko-toko kecil yang saling berhadapan. Adapun pengertian mall memiliki kesamaan dengan pengertian dari plaza. Apa itu plaza? Plaza adalah ruang publik terbuka (open air), biasanya minimal ada satu bangunan yang menyertainya, kadang dikelilingi bangunan lain. Dalam terminology budaya kita dikenal sebagai alun-alun, sebuah ruang publik terbuka yang dibatasi oleh bangunan pemerintahan, masjid, penjara dan pasar. Kata plaza berasal dari istilah Spanyol, memiliki arti yang mirip dengan city/town square dalam Bahasa Inggris, atau piazza dalam Bahasa Italia. Arti plaza kemudian mulai bergeser, mungkin berubah makna akibat statistik, bahkan ketika sama sekali tidak ada ruang publik terbuka tetap diberi nama plaza. Hal itu pulalah yang terjadi pada arti sebenarnya dari mall yang berubah arti manjadi tempat pusat perbelanjaan yang besar dan megah.

Lalu apa hubungannya antara mall, plaza dan agora? Sebenarnya dari ketiga kata tersebut tidak memiliki arti yang berkaitan satu sama lain secara erat. Selain dari dari arti mall dan plaza yang memiliki pergeseran makna atau arti menjadi sebuah pusat perbelanjaan yang megah di pusat kota. Agora sendiri juga memiliki sedikit persamaan dengan mall atau plaza yakni sebagai pasar atau tempat berjualan para pedagang. Di indonesia sendiri, gedung-gedung mall ataupun plaza telah tersebar di seluruh indonesia tepatnya di pusat kota. Jakarta khususnya, gedung-gedung mall ataupun plaza telah merajarela dimana-mana, bahkan rencana pembangunannya pun masih terus berlanjut denagan berbagai macam komplikasinya antara pro maupun kontra. Sungguh disayangkan bila generasi saat ini hanya mengerti arti dari mall ataupun plaza sebagai tempat perbelanjaan semata.

Saat ini perkembangan mall ataupun plaza berkembang pesat. Bila kita berkunjung kesuatu daerah di pusat kota sudah bisa di pastikan bahwa kita akan menemukan mall ataupun plaza, tanpa harus bersusah payah. Perkembangan mall yang berlebihan akan menimbulkan kekacauan. Entah dalam konteks tata ruang atau hal lainnya. Memang kebutuhan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangatlah besar , khususnya dalam hal berbelanja. Akan teteapi alasan ini tidak juga dibenarkan dalam hal untuk membangun sebuah mall secara berlebihan. Kasus ini pulalah yang terjadi jakarta. Banyak bangunan-bangunan mall ataupun plaza yang merajarela di jakarta, padahal hal ini menyebabkan sempitnya ruang hijau di jakarta. Akan tetapi hingga saat ini pembngunan mall di jakarta masih diperbolehkan.

PENGERTIAN MALL

Saat ini sudah ada 67 mal di Jakarta. Empat mal lagi masih dalam tahap perizinan. Satu di antarany akan dibuka pada awal Agustus 2010, sedangkan tiga yang lain menunggu sampai tahun 2011.

Kendati demikian, Kepala Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriatmoko mengatakan pembangunan mal di Jakarta masih diizinkan. Hal tersebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta yang berkaitan dengan kebutuhan publik.

"Intinya semakin bertambah jumlah penduduk di Jakarta maka semakin banyak pelayanan publik yang diberikann seperti mal," ujar Wiriatmoko di sela-sela Diskusi Nasional Pembangunan Ibukota Jakarta Dalam Perspektif Nasional di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Jumat (23/7).

Namun Wiriatmoko menegaskan pembangunan mal tidak lagi dipusatkan di tengah kota. Pembangunan akan disebar ke pinggiran kota. Wilayah kota administrasi pusat, selatan, dan utara dinilai sudah padat. Mal yang ada di tiga kawasan tersebut pun dinilai terlalu besar.

"Grand Indonesia itu mal paling besar di seluruh dunia. Saya sudah keliling mal di beberapa kota di negara-negara lain. Mal di Amerika Serikat saja rata-rata 3 tingkat," papar Wiriatmoko yang siang itu memakai kemeja batik lengan panjang.

Lebih lanjut, menurut dia, pembangunan mal sebaiknya dilakukan di Jakarta wilayah kota administrasi barat dan timur. Kedua wilayah tersebut dinilainya tidak sepadat tiga wilayah lainnya.

"Ya kalau mau bangun-bangun, di barat dan timur yang masih kurang mal. Untuk pusat, selatan, dan utara sudah jenuh. Jadi ini sentralisasi mal di tengah kota," tandasnya.

Penyebaran pembangunan mal, menurutnya, bertujuan untuk memecah terpusatnya mal di tengah kota sehingga dapat mengurangi hilir mudik transportasi warga Jakarta dan sekitarnya. Dia menambahkan hal itu akan dijadikan saran dalam pembuatan kebijakan perizinan pembangunan mal.

"Ini kita jadikan masukan dalam kebijakan membuat mal. Dan nanti juga kita arahkan para investor atau pengusaha untuk melihat pada daerah barat dan timur," kata Wiriatmoko.

Bangunan mal, jelas Wiriatmoko, juga memiliki batasan berdasarkan perspektif tata ruang. "Tidak boleh terlalu besar, paling 3 lantai. Bangunan juga sebaiknya dibangun secara vertikal," paparnya.

Desentralisasi mal tersebut menurut Wiriatmoko juga dikenakan kepada pusat perbelanjaan waralaba. Penyebaran tersebut bertujuan untuk mendukung kehidupan pasar tradisional. Pihaknya menilai keberadaan pasar tradisional selama ini terdesak dengan keberadaan pusat belanja frenchise.

"Waralaba-waralaba besar seperti Carefour atau Giant tidak di pusat kota lagi, kita taruh di outer ring. Pasar tradisional diupayakan tidak menjadi korban dan obyek dengan keberadaan waralaba besar tadi di tengah kota. Ini kita jadikan kebijakan untuk perizinan ke depan," jelasnya.

Ketika ditanya mengenai jarak ideal antara satu mal dengan mal lainnya terkait dengan kepadatan mal di satu kawasan, Wiriatmoko menegaskan bahwa tidak ada aturan dalam Perda DKI Nomor 2/2002 tentang tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta, yang mengatakan ada pembatasan jarak antar mal satu dengan lainnya. "Yang ada adalah jarak antara mal dengan pasar tradisional," kata dia.

Demikian berangkat dari informasi di atas yang dimbil dari http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/23/157526/38/5/Pembangunan-Mal-di-Jakarta-masih-Diperbolehkan , dapat kita ketahui bahwa pemda daerah jakarta sendiri tidak ambil pusing dengan merajarelanya mall-mall di jakarta. Hanya dengan beranggapan bahwa masih dalam peraturan yang ada. Bila kita lihat pula jarak mall yang satu dengan yang lainnya tidak cukup jauh, mungkin juga bisa dikatakan dekat. Pembangunan mall dianggap salah satu penyebab permasalahan di Jakarta. Apalagi jumlahnya dinilai sudah terlalu banyak. Dari data yang diperoleh saat ini di Jakarta sendiri telah terdapat 70 mal yang menjadikan kota ini sebagai kota di dunia yang paling banyak memiliki mal. Oleh karena itu, DPRD DKI Jakarta mengusulkan penghentian pembangunan pusat perbelanjaan setidaknya untuk lima tahun ke depan. Anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar, Priya Ramadhani, mengatakan pembangunan mal membuat kondisi Jakarta semakin timpang. Terutama mengenai keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) dan kemacetan. Menurut Ketua DPD Partai Golkar DKI ini usulan tersebut dilontarkan untuk memberikan kesempatan Pemprov DKI memenuhi target RTH-nya yang saat ini baru mencapai 9,6 persen dari target 13 persen.

Selain itu berdasarkan dari sumber http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/09/23/stop-pembangunan-mall , dinyatakan bahwa
Kebijakan radikal harus diterapkan untuk menyelamatkan lingkungan Jakarta yang saat ini telah masuk dalam tahap kronis. Diantaranya dengan menghentikan pembangunan mall maupun gedung yang dianggap sebagai salah satu penyebab makin tergerusnya daerah resapan air atau Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Bahkan saking bobroknya kondisi lingkungan ibukota, beberapa pakar Tata Kota menyatakan bahwa rembesan air laut dari pantai utara Jakarta telah mencapai kawasan Setiabudi Jakarta Selatan.
Akibatnya penurunan muka tanah terjadi yang mengakibatkan bencana banjir tidak dapat terhindarkan. Sebagai satu-satunya langkah untuk menghentikan pembangunan yang dinilainya merusak lingkungan ini, ialah menghentikan penerbitan izin pembangunan mall baru. Tidak hanya itu dikatakannya reklamasi pantai Jakarta juga harus dengan tegas dihentikan, bangunan-bangunan dan gedung-gedung yang menyalahi peruntukan harus dirobohkan dan diganti menjadi kawasan hijau.
Sesuai dengan yang diamanat UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), seluruh daerah diwajibkan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) daerahnya masing-masing sehingga mengetahui daya dukung lingkungan untuk pembangunan.
Menurut guru besar Universitas Atmajaya, saat ini, ruang terbuka Jakarta, yaitu untuk kawasan hijau dan resapan air hanya 13% dari seluruh luas kota yang seluas 650 km2. Padahal, dalam UU Tata Ruang, Jakarta memerlukan 30% ruang terbuka. Dengan begitu, masih kekurangan 17% lagi, “Artinya, masih banyak berbagai bangunan dan gedung-gedung yang tidak sesuai peruntukan harus dibongkar,” katanya.

Hal yang sama juga dilontarkan, Ketua Metropolitan Cabin for Watch and Empowerment (Mc We), yang menyatakan sejak 1970 Jakarta telah memiliki rencana umum tata ruang yang berlaku hingga 25 tahun. Dimana dalam program tersebut telah diatur lokasi penggunaan kawasan, seperti jalur hijau, pemukiman dan daerah resapan.
Namun seiring dengan sistem pemerintahan orde baru yang bersifat centralistic, pemerintahan dimasa kepemimpinan Soeharto ini membuat program akselerasi pembangunan nasional yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Akibatnya banyak investor asing menanamkan modalnya dan pembangunanpun tidak terkendali.

Oleh karena itu dikatakan Amir, diperlukan langkah tegas untuk mengembalikan Jakarta pada rencana awal. Mengingat k daerah resapan dan RTH yang ada saat telah banyak dimanipulasi. Kebijakan ini dimungkinkan mengingat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang terdapat pasal yang menyatakan kawasan yang telah terlanjur berubah peruntukkan dan masih memiliki sisa lahan maka pembangunannya harus dihentikan. Sedangkan bagi bangunan yang kenyataannya dinyatakan menyalahi aturan maka harus ditindak tegas. Misalnya dengan memberikan kompensasi melakukan penghijauan di kawasan tertertentu..

Secara terpisah, Ahli Tata Kota dari Universitas Erlangga Darundono, menuding Pemprov DKI tidak serius m menangani masalah lingkungannya. Ini dibuktikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI tahun 2000 hingga 2010 hanya memproyeksikan 13,94 persen atau 96,6 Km dari luas total Jakarta 661,52 Km.
Persentase ini tentunya sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup di Jakarta karena minimnya resapan dan tangkapan air yang ada. Data yang ada, 266 situ atau waduk penampungan air di wilayah Jabodetabek tak terurus atau terbengkalai. Dan yang berfungsi dengan baik atau maksimal hanya 33 buah situ saja.
Sekitar 233 buah lainnya hilang atau sudah berubah menjadi bangunan bertingkat, mal, pusat belanja bahkan town house. “Ini lebih disebabkan karena kebijakan pembangunan yang tak memperhatikan lingkungan sekitar,” ujarnya.
Terkait rencana tata ruang Jakarta, Gubernur DKI, Fauzi Bowo, menyatakan startegi peningkatan kualitas lingkungan merupakan bagian prioritas pada Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW) DKI 2010-2030 akan mulai dibahas DPRD DKI pada November 2010. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sarwo Handayani, mengaku masalahlingkungan telahmenjadi perhatian khusus Pemprov DKI. Hal ini dibuktikan dengan berbagai langkah refungsi beberapa bangunan. Salah satunya 27 Satuan Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU) yang telah direfungsi menjadi RTH. Tidak hanya itu Yani, juga menyatakan dalam RTRW ini, pihaknya juga merencanakan pembatasan jumlah penduduk. Sehingga daya tampung Jakarta tidak melebihi beban dan pembangunanpun dapat disesuaikan. Sedangkan terkait pembangunan pusat perbelanjaan seperti mall, Yani menyatakan bahwa kebijakan itu dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan penduduk. Meski dikatakan Yani dirinya tidak menampik jika pembangunan yang terjadi saat ini hanya terpusat di tengah kota.
Dari semua informasi diatas dapat kita simpulkan bahwa, pembangunan mall sejatinya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, akan tetapi tidaklah harus melebihi dari batas. Untuk di jakarta sendiri pemerintah ibukota telah menyatakan akan menanggulangi masalah mall tersebut, meski pada kenyataannya belum mempunyai andil yang cukup besar.

Dampak Pembangunan Mall di Indonesia
Dampak Positif

1. Mall memberikan peningkatan pendapatan negara dalam bentuk pajak, karena adanya aktivitas ekonomi disitu. Aktivitas ekonomi yang terjadi juga bukanlah main-main karena faktor penggerak transaksi kaum urban yang datang ke mall sudah tentu didominasi kalangan menengah ke atas. Sejatinya mereka bisa mengeluarkan lebih dari 100rb rupiah untuk setiap kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan (akumulasi dari parkir, belanja, makan dan minum, atau kegiatan lain seperti nonton bioskop).
Ini adalah hal yang sangat menggiurkan terutama untuk pemerintah kita sebagai pendapatan negara. Meningkatnya jumlah orang kaya di tahun 2010 ini dan memboomingnya industri kreatif dapat turut mendongkrak psikologis manusia untuk berbelanja. Berbelanja hal-hal yang mungkin tidak terlalu mereka butuhkan.

2. Setiap pendirian mall berarti penyerapan tenaga kerja baru. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 250.000 - 300.000 orang tenaga kerja. Masih belum bisa menutupi angka jumlah pengangguran sebanyak 10 juta orang lebih di Indonesia. Pertanyaannya adalah, tenaga kerja manakah yang akan diserap oleh Mall? Tenaga kerja penduduk dengan KTP DKI Jakarta? Ataukah tenaga kerja Bodetabek yang notabene akan menambah jumlah komuter ke Ibukota?

3. Mall adalah sebuah lambang pengakuan. Pengakuan dari pihak-pihak; terutama tenant (terlebih jika tenant berasal dari luar negeri) bahwa iklim investasi di Indonesia baik. Menurut indeks investasi dunia, Indonesia masuk dalam peringkat 17 negara yang dapat dijadikan tempat berinvestati. Menyusul kenaikan harga IHSG yang nyaris menembus angka 3000, adalah indikasi-indikasi lain yang menunjukkan bahwa secara makro, negara ini memiliki fundamental ekonomi yang kuat.

4. mall juga memberikan fasilitas dan menampung seluruh kebutuhan masyarakat kota pada umumnya sehingga mall menjadi bangunan wajib yang ada di hampir seluruh pusat kota di indonesia

sumber : http://bismanara.blogspot.com/2010/07/dampak-positif-keberadaan-mall.html

Dampak Negatif

Pembangunan mall akhir-akhir ini semakin meningkat, seiring pertumbuhan pembangunan di kota jakarta, ada dampak positif tapi lebih banyak negatifnya dari pertumbuhan mall tersebut.

Banyaknya mall akan juga melahirkan jurang perbedaan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Sehingga si miskin makin tidak akan merasa nyaman. Selain itu dampak lain pembangunan mall adalah warga akan semakin sulit mendapatkan ruang terbuka, seperti daerah resapan air atau taman sehingga pada gilirannya akan menyebabkan banjir. Dampak sosial dari pembangunan mall adalah warga akan terbius menjadi warga yang konsumtif dan menghabiskan waktunya dimall, kalau sang warga punya kemampuan finansial yang baik untuk belanja di mall mungkin tidak terlalu masalah, akan tetapi jika sang warga tak punya uang yang cukup, maka yang akan terjadi adalah angka kriminalitas yang akan semakin tinggi. Seperti pencopetan, penjambretan, perampokan dll.

Dalam konsep teori pembangunan perkotaan, yang seharusnya menjadi tempat berkumpul warga kota adalah taman atau area terbuka, namun karena keterbatasan dana dari pemerintah daerah untuk membangun taman baru dan perawatan taman yang telah ada maka mereka sulit mendapatkan taman atau lahan yang enak dikunjungi. Warga kota merasakan taman yang tidak terawat,kotor, kumuh. Ada hal menarik di balik pertumbuhan mall yang meningkat yaitu karena warga kota kehilangan tempat untuk sekedar berkumpul maka mal-mall jadi satu-satunya tempat untuk ajang berkumpul dan interaksi antar warga kota.

Satu lagi dampak negatif dari pertumbuhan mall adalah tersingkirnya satu persatu pasar tradisional yang pada gilirannya mematikan aktifitas pedagang tradisional pribumi. Jumlah pedagang tradisional semakin hari semakin berkurang akibat kalah bersaing dengan pasar modern yang memberi kenyamanan yang lebih. Sebagai catatan dari 37 pasar tradisional yang ada di kota bandung hanya ada dua pasar yang tingkat huniannya diatas 75%, sisanya hanya mempunyai tingkat hunian dibawah 50%.
Contoh Kasus dari Pembangunan Mall

1. Dampak Pembangunan Mall di Kawasan Senayan

Kita mungkin telah mendengar berita di koran maupun elektronik tentang rencana pembangunan Mall di kawasan Senayan,tepatnya bekas gedung Taman Ria Senayan.Rencana ini banyak menuai protes dari berbagai kalangan dari anggota Dewan DPR hingga Menpora yang tidak menyetujui rencana pembangunan Mall di kawasan Senayan.
Kalo kita melihat flashback kebelakang,,kawasan Senayan pada pemerintahan dahulu rencananya di jadikan kawasan khusus olahraga,yang didalamnya terdapat stadion sepakbola (GBK),GOR basket dll.
Namun semua itu tak seperti yang di rencanakan,,yang berdiri sekarang justru bangunan2 hotel dan Mall yang berada di sekitar kawasan senayan yang seharusnya di kawasan ini di jadikan Mess Pemain atau Mess atlet.
Menpora dan anggota DPR sangat keberatan tentang rencana pembangunan Mall lagi di kawasan senayan.Pembangunan Mall di bekas gedung Taman Ria lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.Banyak kerugian yang akan di akibatkan dengan adanya Mall lagi di Senayan,kerugian yang paling jelas adalah kemacetan di kawasan senayan.
Dan kerugian yang pasti buat kita insan olahraga adalah ketika adanya pertandingan sepakbola,pasti akan menimbulkan polemik yang luar biasa,khususnya bagi kita Jakmania ketika Persija berlaga di Stadioan Gelora Bung Karno.keberadaan Mall di Taman Ria sangat bisa memungkinkan untuk sulit mendapatkan izin pertandingan dari pihak kepolisian,yang mereka akan mengatas namakan “kemacetan” dan menggangu kenyamanan umum,dan kita2 lagi lah Jakmania yang menjadi “kambing hitam” dari pihak kepolisian maupun orang yg “berduit” dan Team kesayangan kita lah Persija Jakarta yang menjadi korbannya.

Semoga menpora dan DPRD dapat mencegah rencana pembangunan ini,yang dapat menimbulkan polemik berkepanjangan bagi insan olahraga khususnya sepakbola.Dan kami akan mendukung rencana Menpora untuk menjadikan Taman Ria senayan menjadi kawasan Taman kota.Dan Team Kesayangan kita Persija Jakarta tidak dapat masalah dalam izin pertandingan distadion Gelora Bung Karno.
(http://thejakmania.net/2010/09/dapak-pembangan-mall-di-kawasan-senayan/)

2. Mall Harus Ada Izin Analisa Dampak Lalu Lintas

VIVAnews – Pertumbuhan mal di Jakarta semakin tidak dapat dikendalikan. Kepolisian bahkan menuding kalau mal salah satu sumber utama kemacetan Jakarta.
Tudingan kepolisian yang menyatakan mal menjadi sumber kemacetan bukanlah tidak berasalan, saat ini pembangunan mal tidak pernah melihat analisa dampak lalu lintas.
“Pengelola harus ajak polisi (Ditlantas), Dishub, dan Dinas PU untuk membahas dan menganalisa dampak lalu lintas,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, Jumat 23 Juli 2010.
Izin analisis dampak lalu lintas dalam pembangunan mal sudah tertuang dalam UU No 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Pembangunan mal perlu mengantongi izin tersebut. Jangan sampai mal itu jadi sumber kemacetan,” jelasnya.
Saat ini, sambungnya, banyak mal-mal di Jakarta tidak memperhatikan aspek Tata Kota seperti menempatkan pintu masuk mal di depan jalan protokol. Hasilnya terjadinya kemacetan yang cukup panjang.
“Kalau mau masuk mal pasti harus memakai jalan umum sehingga memadatkan jalan. Akhirnya menimbulkan kemacetan,” jelasnya.
Dia menegaskan, jika memang nanti Taman Ria Senayan akan dibangun mal, maka mereka juga harus mendapatkan izin analisa dampak lalu lintas dan dampak lingkungan. Begitu juga untuk pembangunan mal lainnya.
Menurut pengamatan Ditlantas Polda Metro Jaya, empat mal yang menjadi sumber kemacetan. Misalnya Plaza Semanggi, Mal lainnya adalah Mal Taman Anggrek, Grand Indonesia dan Ambasador. Seluruh pintu masuk mal tersebut berada di jalan protokol.
(http://bacaberita.tk/category/metro/page/20/)

3. Jika Sesuai Taman Ria Senayan Berdiri

VIVAnews – Kepala Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Wiriatmoko mempertanyakan alasan pihak-pihak yang mempermasalahkan proses pembangunan mal di kawasan Taman Ria Senayan.
“Dari dulu sudah ada bangunannya dan dari dulu sudah ada izinnya. Setahu saya ada IMB-nya. Sekarang ini (bangunannya) diperbaiki, lalu kenapa diributkan? Bangunan di situ itu boleh dibangun,” ujar Wiriatmoko di sela-sela Diskusi Nasional di Bappenas Jakarta, Jumat 23 Juli 2010.
Menurutnya, pembangunan mal di Jakarta masih diizinkan seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat terhadap sarana publik.
Meski demikian, pembangunan tersebut menurut Wiriatmoko harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. “Dengan batasan nggak boleh terlalu besar, paling tinggi 3-4 lantai karena di sana daerah macet. Tapi itu bagian dari studinya Amdal. Ada Amdal sebelum konstruksi, saat konstruksi, dan paska konstruksi. Kami hanya bagian planning,” ujar Wiriatmiko.
Mengenai semakin maraknya pembangunan pusat perbelanjaan di seputar Jakarta, Wiriatmoko mengaku pihaknya tidak perlu membatasi pihak swasta yang hendak membangun mal atau pusat perbelanjaan.
“Tidak perlu dibatasi. Karena nggak dibatasi pun, suatu saat mereka (investor) secara alami akan tereliminasi sendiri. Lagipula, para pengusaha itu akan berpikiran kalau tidak menguntungkan, dia tidak akan membangun mal,” kata Wiriatmoko.
Namun Wiriatmoko berharap, pembangunan mal di Jakarta dapat tersebar merata di seputar Jakarta. Sebab selama ini, keberadaan mal lebih terpusat di wilayah Jakarta Pusat, Utara, dan Selatan sehingga menimbulkan kepadatan di satu lokasi saja.
“Kita menginginkan keberadaan mal tersebar secara merata. Untuk Jakarta Timur dan Jakarta Barat masih kurang. Untuk Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara sudah jenuh. Ini jadi pertimbangan untuk memberhentikan pembangunan mall di tiga daerah itu. Yah, kalau mau bangun mal di wilayah lain, kayak di Jakarta Timur dan Jakarta Barat,” ujar Wirianto.
Penyebaran pembangunan mal tersebut, menurutnya, akan dijadikan saran dalam pembuatan kebijakan perizinan pembangunan mal.
(http://bacaberita.tk/category/metro/page/20/)

Sumber lainnya : (http://www.artikata.com/arti-3938-agora.php ,

Writed by :putery nia

JATUHNYA SEORANG PEMIMPIN YG BIJAKSANA

Meskipun mungkin akan terkesan terlampau mengada-ada bahkan ahistoris untuk mengatakan bahwa riwayat kekuasaan politik pada sebuah masyarakat senantiasa berulang dalam pola yang relatif sama untuk jangka waktu yang sangat lama, tapi untuk konteks politik Indonesia kontemporer, pernyataan seperti itu tampaknya tetap tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ketika Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya tgl 21 Mei 1998 yang lalu, misalnya, ia tidak menggunakan istilah apa pun yang bisa dicari dalam kamus politik modern melainkan satu istilah yang bisa mengantarkan konotasi konseptual kita pada kisah kekuasaan ratusan tahun yang lalu di zaman kerajaan Mataram Hindu, yakni istilah “lengser” atau lengkapnya “lengser keprabon” yang artinya tidak bisa tidak kecuali meninggalkan tahta keprabuan atau kerajaan[1].

Dalam khasanah budaya Jawa ungkapan itu juga diikuti oleh anak kalimat “madeg pandita”, sehingga bunyi lengkap dari ungkapan tadi menjadi “lengser keprabon, madeg pandita” yang translasinya dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti “berhenti dari tahta kerajaan untuk menjadi seorang pandita”. Ungkapan seperti itu seolah menegaskan bahwa Soeharto berhenti dari tahtanya bukan karena tekanan atau paksaan dari pihak lain, seperti demonstrasi massa mahasiswa dan rakyat atau tindakan beberapa orang menterinya yang ramai-ramai mengundurkan diri dan tidak bersedia diangkat kembali dalam kabinet baru yang akan dibentuk Soeharto, melainkan secara sukarela karena ia ingin melakukan peningkatan kualitas personal dengan menjadi seorang pandita.

Dalam situasi terpojok secara politis, Soeharto berpaling pada kosmologi Jawa-Hindu yang, seperti bisa ditemukan dalam kisah-kisah Mahabharata, mengajarkan sebuah hierarki kultural tentang tugas-tugas pengabdian manusia di dunia: kalau tugas penguasa adalah dharma duniawi seorang satria, maka status yang lebih mulia bisa dicapai justru dengan menarik diri ke wilayah spiritual, meninggalkan tugas kesatria menjadi pandita[2]. Politik penyelematan muka seperti ini memperlihatkan bagaimana Soeharto berusaha menegasikan realitas empirik melalaui lompatan kosmologis ke dunia metafisika dengan (mengklaim dirinya) berhenti sebagai presiden bukan karena alasan-alasan struktural, melainkan lebih karena ia ingin memenuhi imperatif kultural tentang penyempurnaan hidup seorang individu Jawa terhormat seperti dirinya.

Di lain pihak, pemberhentian Abdurrahman Wahid dari tahta presiden juga melengkapi riwayat ganjil kekuasaan modern di negeri ini: setiap pergantian kepala pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh kemelut politik rumit berkepanjangan, sedemikian rupa sehingga banyak orang berkeyakinan bahwa solusi terbaik hanyalah dengan mengganti pucuk pimpinan negara. Perhatikan kutipan ucapan seorang warga Surabaya berikut ini:


“Sidang istimewa harus dilaksanakan. Kita ingin melihat ada perubahan di Indonesia. Ndak perlu lagi itu kompromi-kompromi politik atau bagi-bagi wewenang dengan Mbak Mega. Pokoknya sekarang Gus Dur harus turun dulu, persoalan yang mau gantiin dia siapa itu urusan nanti. Harus ada pergantian pemerintahan dulu baru pemerintahan negara ini bisa berjalan lagi. Sebab kalau tidak, upaya wakil rakyat selama ini akan sia-sia, dan Sidang Istimewa sendiri akan ngambang hasilnya.” (Kompas, 27 Mei 2001)


Kenyataan seperti ini, paling tidak, mengindikasikan dua hal. Pertama, eksistensi seorang pemimpin pemerintahan dan kepala negara senantiasa diandaikan sebagai hulu sekaligus muara dari nasib politik negara bahkan bangsa. Penyelenggaraan negara, dengan demikian, tidak diasumsikan sebagai mekanisme sistemik dan impersonal melainkan lebih sebagai perpanjangan kemampuan personal figur seorang pemimpin. Kedua, dalam rentang yang sangat panjang, sejarah masyarakat politik di Indonesia sebagian besar merupakan kisah bersambung yang penuh nuansa kekerasan. Suksesi jadi identik dengan perebutan kekuasaan. Banyak orang kemudian sering berpaling pada sejarah kelam suksesi kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan besar di Jawa pra Indonesia--yang konon berlangsung melalui kekerasan, mewariskan luka sosial dan dendam politik turun temurun.[3] Siapa pun yang ingin berkuasa, dengan demikian, ia harus cukup keji untuk menghargai lembar-lembar nyawa manusia hanya jadi sederet angka statistik.

Kondisi yang sama, meskipun tidak terjadi secara aktual, kembali berulang persis pada paruh pertama abad 21. Menjelang kejatuhan Wahid, misalnya, sebagian masyarakat ditikam kecemasan akan kemungkinan timbulnya konflik horizontal yang bisa membawa malapetaka besar bagi seluruh bangsa. Akibat pelbagai pemberitaan media yang sangat massif dan suksesif, cukup berasalan untuk mengatakan bahwa di pikiran sebagian masyarakat, paling tidak mereka yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya, waktu itu yang terbayang adalah darah dan tubuh yang akan menjadi kurban untuk sebuah kesia-siaan politik. Tampak jelas bahwa politik dan kekuasaan telah menjadikan tubuh biologis rakyat sebuah arena pertempuran. Parade kolosal petugas keamanan sebelum, pada saat dan beberapa hari setelah MPR melangsungkan sidang istimewa di gedung parlemen menjadikan bayangan menakutkan itu makin mendekati kenyataan. Ketika TNI dan Polisi pamer kekuatan seperti sedang hendak memaklumkan sebuah perang besar, orang makin bertanya-tanya apakah negeri ini sudah akan habis. Satu hal moronis terjadi ketika yang dipagari puluhan ribu senapan dan mobil baja ternyata bukan rakyat sipil warga Jakarta, melainkan salah satu pihak yang jadi penyebab kerawanan politik, yakni anggota parlemen dan MPR. Jika dibaca dari sebuah jarak kritis fenomena seperti itu akan memunculkan pertanyaan problematik tentang keterlibatan mereka dalam membangun bayangan masyarakat tentang kekerasan yang muncul setiap terjadi suksesi kepemimpinan nasional.

Dengan pengecualiaan pada Habibie, ada beberapa kesamaan antara Wahid dengan para pendahulunya. Kalau Soekarno punya cita-cita “revolusi yang belum selesai”, Soeharto punya cita-cita pembangunan, sedangkan Wahid punya cita-cita reformasi (total). Ketiganya muncul dalam sebuah krisis politik yang sangat menentukan. Persoalannya kemudian adalah, kalau bangsa ini butuh waktu 20 tahun lebih untuk mengakhiri ambisi Soekarno, dan 32 tahun untuk menghentikan proyek pembangunan Soeharto yang korup dan bengis, mengapa kita hanya butuh waktu 2 tahun untuk menyaksikan jatuhnya kekuasaan Wahid? Dinyatakan dengan cara yang berbeda pertanyaannya adalah, mengapa proses delegitimasi politik secara radikal lebih cepat terjadi pada era kekuasaan Wahid dibanding pada dua orang pendahulunya.

Karangan ini tidak pertama-tama dimaksudkan untuk memeriksa perisitwa-peristiwa kekerasan dalam setiap suksesi pimpinan nasional dalam politik Indonesia modern, melainkan lebih pada upaya membaca kembali bagaimana riwayat (pergantian) kekuasaan modern di Indonesia, dalam hal-hal tertentu yang sangat terbatas lingkupnya, masih merefleksikan sebuah relasi antara konsep politik tentang kekuasaan (power) dengan konsep kultural tentang kemuliaan dalam kosmologi masyarakat Indonesia, secara spesifik mungkin bisa disebut masyarakat Jawa tapi yang pada kenyataannya cenderung juga berlaku untuk yang lain[4]. Kiranya perlu terlebih dahulu dikemukakan bahwa karena beberapa keterbatasan, argumentasi saya tentang konsep kemuliaan ini cenderung masih bersifat spekulatif. Di sisi lain, karangan ini juga akan mencoba mengajukan hipotesa bahwa di samping faktor-faktor lain yang bersifat struktural, salah satu pendorong runtuhnya kekuasaan Abdurrahman Wahid adalah munculnya disilusi masyarakat terhadap utopisme penyatuan kuasa dan kemuliaan pada diri seorang individu pemimpin negara--yang sebagian besar sebabnya justru bersumber dari tabiat Wahid sendiri.

Kalau baik setelah Soekarno, Soeharto maupun Habibie berhenti orang masih begitu besar mengharapkan munculnya seorang pemimpin yang bisa menjadi berkah bagi bangsanya, hal itu tidak terjadi ketika Megawati naik tahta kepresidenan menggantikan Wahid. Kekecewaan akibat kegagalan Wahid, atau justru pengetahuan bersama akan keterbatasan Megawati, tampaknya telah mendorong masyarakat Indonesia menjadi lebih realistis, kalau bukan rasional, dalam melihat kemampuan pemimpinnya. Dalam kalimat lain, sambil mengakui bahwa budaya merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam analisa politik di satu sisi, karangan ini sekaligus juga ingin memperlihatkan bagaimana dalam aspek-aspek tertentu masyarakat mengalami pelbagai perubahan dinamis di sisi lain. Kalau pun budaya sering terefleksikan dalam politik negara, tapi nilai apa yang direfleksikan tampaknya tidak harus sama dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam lingkungan masyarakat politik yang bersangkutan. Elitisme politik mungkin merupakan salah satu penjelas dari kecenderungan seperti itu, sehingga apa yang berlangsung pada level elit kekuasaan politik tidak otomatis merupakan aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya. Kalau ukuran termudah aspirasi masyarakat bisa dilihat dari hasil perolehan Pemilu, maka terpilihnya Wahid oleh MPR mengalahkan Megawati yang justru memenangi Pemilu jelas memperlihatkan elitisme tersebut.[5]

Telaah klasik seperti yang telah dilakukan oleh Ben Aderson (1991) dan Moertono (1985), misalnya, sama-sama memperlihatkan kepada kita bahwa konsep kuasa dalam masyarakat Jawa tempo dulu, kontras dengan faham kekuasaan masyarakat Barat, niscaya ditarik masuk ke wilayah spiritual bahkan supranatural. Selain dianggap konkret dan tidak bisa dibagi seperti dalam analisa Ben Anderson, kekuasaan juga dipahami sebagai sesuatu yang sumber-sumbernya tidak berasal dari dunia sosial melainkan dari dunia di atasnya. Sumber kuasa diyakini berada di seberang realitas. Ini tentu saja memperlihatkan dua hal yang kontradiktif: antara materialisasi kuasa (dalam konteks kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang konkret), dan dematerialisasi sumber-sumber kuasa (dalam konteks pelarian pada dunia spiritual dan supranatural untuk menjelaskan asal-usul kuasa yang sama).

Problemnya adalah karena penekanan utamanya hanya pada aspek-dalam kebudayaan, terutama tentang kosmologi kekuasaan masyarakat Jawa, teori-teori tersebut tidak bisa secara memuaskan menjelaskan mengapa proses deligitimasi politik terjadi di luar deskripsi tentang adanya kepercayaan mitis masyarakat Jawa bahwa seorang pemimpin yang sudah ditinggalkan oleh pulungatau wahyu keprabon tidak akan lagi dipatuhi oleh masyarakat yang dikuasainya. Penjelasan tentang disintegrasi kekuasaan, dengan demikian, juga dilakukan dengan cara menariknya ke dalam wilayah spiritual bahkan supranatural yang diyakini oleh masyarakat Jawa sehingga, dengan demikian, penjelasan seperti itu cenderung tidak mengakui atau mengabaikan dinamik yang berlangsung pada level masyarakat, dan karena itu tidak kritis.

Kekuasaan dan Kemuliaan
Untuk sementara ada baiknya diandaikan bahwa, meskipun sangat subtil, kekuasaan dan kemuliaan pada mulanya bolehjadi merupakan dua wilayah yang berbeda sama sekali atau, sekurang-kurangnya, secara konseptual masih bisa dibedakan. Untuk keperluan tulisan ini cukuplah dikatakan bahwa, kalau yang pertama berasosiasi pada kesanggupan untuk mendatangkan kepatuhan dan meniadakan penentangan, yang kedua berasosiasi pada keagungan dan penghormatan. Dalam khasanah pemahaman masyarakat Barat, kuasa mengisyaratkan kemampuan mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu, sedangkan kemuliaan mengisyaratkan apa yang mungkin lebih mendekatkan asosiasi konseptual kita dengan konsep Walter Benjamin, dalam konteks yang berbeda, tentang aura[6], semacam getar ganjil yang menerbitkan ketakziman pihak lain. Yang pertama berasosiasi pada kekuatan dan kesanggupan mengerahkan instrumen-instrumen pemaksa, sedangkan yang kedua lebih berhubungan dengan apa yang dalam tradisi Weberian biasa disebut kharisma. Kekuasaan adalah terminologi politik, sedangkan kemuliaan bisa diperlakukan sebagai terminologi kultural.

Domain utama kekuasaan adalah praktik-praktik politik, sedangkan kemuliaan mungkin lebih umum diterima sebagai semacam opus spirituale yang tercermin langsung dalam prilaku-prilaku yang spesifik. Kuasa bersifat profan, sedangkan kemuliaan dianggap sakral. Jika dihubungkan dengan konsep otoritas,[7] perintah seorang tokoh politik mungkin dipatuhi karena ia memiliki akses pada perangkat-perangkat politik untuk memberi ancaman dan sanksi, sedangkan seruan seorang tokoh spiritual ditaati karena ia dianggap mewakili sebuah suara kebenaran. Kalau kekuasaan dihasilkan dari kemampuan memenangkan kompetisi dalam relasi-relasi sosial, kemuliaan hanya mungkin diraih melalui kemampuan mengalahkan diri sendiri dalam bentuk pengolahan ruhani secara individual. Ekstrem negatif kekuasaan adalah pemanfaatan sumber-sumber daya koersif untuk menghabisi penentangnya, sedangkan kemuliaan pada titik ekstremnya bisa melahirkan ketaklidan buta para pengikut. Kalau kekuasaan bisa menjadi tirani, kemuliaan berpotensi menghasilkan dogma. Tampak jelas bahwa dalam konteks semacam itu baik kuasa maupun kemuliaan pada akhirnya juga mensyaratkan adanya orang atau pihak lain sebagai objek yang dikuasai atau dipengaruhi.

Dalam konteks terbatas, kekuasaan boleh jadi juga tidak mensyaratkan kemuliaan seperti kemuliaan juga tidak pernah mengandaikan kekuasaan. Seorang tokoh politik bisa tidak menjadi tokoh spiritual kharismatik tapi tetap dipatuhi bahkan ditakuti, sama seperti seorang tokoh spiritual tetap ditaati meskipun tidak memiliki kuasa politik. Tapi dalam praktik dua hal ini tampaknya tidaklah mudah, jika bukan mustahil, dipisahkan. Faham kekuasaan yang dianut masyarakat Jawa, seperti diuraikan secara memikat oleh Anderson (1991), misalnya, justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan diraih melalui pelbagai laku spiritual untuk mendapatkan pulung atau wahyu kesekten sehingga, kalau mengikuti tesis Anderson, kuasa dan kemuliaan dalam masyarakat Jawa ternyata tidak bisa dianggap secara dikotomis satu dengan yang lain melainkan membentuk relasi-kausalitas, yang satu menyebabkan yang lain. Bayangan tentang kekuasaan sebagai perwujudan kemuliaan semakin lengkap, ketika tahta kekuasaan raja tradisional juga dikukuhkan dengan simbol mahkota penghias kepala yang terbuat dari logam dan batu mulia. Tidaklah mengherankan jika kesatuan kuasa dan kemuliaan juga bisa dengan mudah diterjemahkan secara material menjadi sumber-sumber kemakmuran ekonomis[8]. Karena itu cukup mengharukan bahwa salah satu motivasi dominan orang memperebutkan jabatan publik di sini bukan terutama untuk mengabdikan diri kepada negara, melainkan untuk meraih sumber-sumber kemakmuran. Tapi ini adalah persoalan lain yang tidak akan dibahas dalam karangan ini.

Tanpa mengikuti kerangka analisa Anderson pada dasarnya bisa dikatakan bahwa relasi di antara kuasa dan kemuliaan justru muncul dalam problematik apakah mungkin kemuliaan bisa tidak merefleksikan relasi kuasa, atau tidakah pada dasarnya kemuliaan adalah sebuah arena tempat kontestasi segala bentuk potensi kuasa. Interpretasi mutakhir tentang kuasa seperti yang dilakukan Foucault, misalnya, justru memperlihatkan pada kita bagaimana kuasa bersifat omnipresent, hadir di mana-mana, satu bentuk pengetahuan yang menyebar dalam seluruh pranata dalam dunia sosial[9]. Ditinjau dari jurusan lain, problemnya barangkali adalah bagaimana secara kategoris memisahkan kuasa dan kemuliaan ketika baik kuasa maupun kemuliaan secara substansial sama-sama berorientasi pada kontrol satu pihak terhadap pihak lain.

Telah banyak dibahas bahwa salah satu mimpi terindah masyarakat politik di Indonesia, paling tidak sampai saat terakhir kekuasaan Habibie dan menjelang Wahid dipilih, adalah justru berlangsungnya penyatuan antara kuasa dan kemuliaan pada, katakanlah, sosok panditaratu, mahaguru yang suci-bijak-bestari sekaligus seorang raja yang adil dan perkasa. Ini akan mengingatkan sebagian orang pada gagasan Nietzsche tentang Uebermench, yang dalam tafsiran Walter Kaufman diidentifikasi sebagai “Napoleon yang manunggal dengan Goethe”. Utopisme semacam ini akan membantu menjelaskan riwayat kekuasaan modern di Indonesia.

Pada dekade 1960an kita pernah mengenal gelar Panatagama Senapati ing ngalaga dan Pemimpin Besar Revolusi yang disematkan hanya pada dada satu orang, Soekarno. Dalam sosok Soekarno rakyat pernah meyakini telah terjadi integrasi sempurna antara keperkasaan seorang panglima perang dan kemuliaan seorang pemimpin spiritual (agama), sehingga kekuasaan pun menjadi memusat dan total pada satu figur Soekarno. Ia dianggap hulu dari mana negeri ini bisa merebut martabat eksistensial di hadapan bangsa-bangsa lain, dan pada saat yang sama ia juga jadi muara ke mana seluruh energi rakyat mengalir untuk mencapai samudra kebesaran sebuah bangsa. Soekarno bukan saja seorang presiden tapi juga nabi bahkan seorang mesiah[10].

Tahun 1999 yang lalu sebagian masyarakat kita juga pernah menaruh harapan sangat besar pada penjelmaan tunggal sosok ulama dan umara sekaligus, Abdurrahman Wahid. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa jauh sebelum diangkat menjadi presiden Wahid dikenal bukan saja sebagai tokoh pergerakan prodemokrasi melainkan, dan terutama juga, karena ia adalah seorang pemimpin organisasi umat islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU). Di samping itu, ia juga mewarisi garis geneologis langsung dari tokoh-tokoh yang di kalangan kaum nadliyin dipercaya sebagai “orang-orang mulia”. Kakeknya, Hasyim Asy’ari, yang di kalangan NU juga dianggap sebagai Hadratush Syaikh, adalah pendiri sekaligus Rois Am pertama NU, sedangkan ayahnya, Wahid Hasyim, pernah menjadi salah seorang menteri agama semasa pemerintahan Seokarno. Kenyataan bahwa Wahid secara fisik tidak memenuhi syarat ideal seorang pemimpin yang sempurna, terbukti tidak menjadi faktor penghambat yang tidak bisa diatasi. Lebih dari itu, jika dilihat dari kaca mata budaya Jawa, terpilihnya Wahid juga memperlihatkan bagaimana pergeseran terjadi pada sejauhmana orang Jawa bisa menerima pemimpin tertingginya yang justru sama sekali tidak memenuhi bahkan bertolak belakang dengan ideal seorang pemimpin Jawa.[11] Apakah hal tersebut bisa dibaca sebagai bukti bahwa utopia manunggalnya ulama dan umara telah melonggarkan keterikatan orang Jawa pada nilai-nilai budayanya, ataukah itu justru mencerminkan dinamik masyarakat Jawa kontemporer? Sejauh ini belum ada penjelasan yang baik tentang fenomen tersebut.

Suara Dari Langit Untuk Wahid
Meskipun tanpa melalui pemilihan umum, Wahid pada mulanya bisa dikatakan merupakan presiden yang bisa meraih kepercayaan sekaligus dibebani harapan begitu besar sama seperti orang menaruh harapan pada Soeharto pada masa awal kekuasaannya. Begitu besarnya harapan tersebut sehingga orang sekelas Nurcholis Madjid, misalnya, bahkan berharap agar Gus Dur bisa berperan seperti Roosevelt di Amerika Serikat, yang mampu memimpin rakyatnya menghadapi salah satu krisis terbesar yang pernah terjadi di AS (Kompas, 22 Maret 2000). Legitimasi dari bawah diperoleh Wahid dalam pengertian bahwa ia tidak mendapatkan penolakan terbuka baik dari kubu massa pendukung Habibie maupun kubu pendukung Megawati. Kerusuhan besar akibat kemarahan simpatisan PDIP di Solo dan Bali tampaknya lebih banyak diterima sebagai bentuk kekecewaan akibat tidak terpilihnya Megawati sebagai presiden, dan bukan bentuk penolakan terbuka atas penobatan Wahid. Sekali lagi sejarah seperti berulang ketika utopisme politik yang melatarbelakangi dipilihnya Wahid juga ditopang oleh rasa takut kolektif yang hampir bersifat mitis akibat penciptaan wacana kekerasan--yang cenderung akan kembali mengingatkan banyak orang pada sisi gelap sejarah suksesi kepemimpin sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara sampai Soeharto. Sebelum Wahid dipilih beberapa tokoh penting politik secara eksesif telah menciptakan dan memanipulasi wacana tentang bahaya perang saudara kalau kompetisi politik di antara dua kekuatan terbesar waktu itu, Golkar dan PDIP, tidak dicarikan jalan ke luar secara damai. Tepat di ujung abad 20 pada tingkat wacana kita seperti dikembalikan ke masa perang paregreg berabad-abad yang lalu. Berikut adalah kutipan dari keterangan Amien Rais kepada media massa yang bisa dijadikan ilustrasi tentang fenomena tersebut:


“….masyarakat yang seolah-olah telah berhadapan satu sama lain, mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga terjadi keretakan yang makin meruncing, menajam, dan makin ekslusif akibat terbelah menjadi kelompok yang mendukung Megawati dan Habibie untuk presiden mendatang.” (Kompas, 21 Juli 1999)


Celakanya, penyelesaian yang dipilih tidak didasarkan pada perhitungan hasil suara pemilu melainkan melalui manuver-manuver politik tingkat tinggi. MPR bukan memilih salah satu dari dua kandidat melainkan malah mengajukan satu calon lain yang sama sekali tidak terlibat dalam kompetisi dari awal, Abdurrahman Wahid. Dari situ kita bisa melihat bagaimana para politisi mengelola pertentangan: konflik tidak dihadapi dengan respon positif tapi dihindari. Solusi damai dicapai bukan melalui kerelaan satu pihak menerima kemenangan politis pihak lain secara terbuka dan dewasa, melainkan dengan meniadakan pertentangan. Wahid dipilih bukan karena ia meraih suara terbesar rakyat, tapi karena kemungkinan resistensi terhadapnya diasumsikan paling kecil. Amin Rais, misalnya, secara terbuka menyatakan bahwa hanya Gus Dur yang bisa diterima semua golongan, karena ia dikenal dekat dengan TNI, Megawati, maupun Habibie (Kompas, 12 Agustus 1999). Dari pernyataan tersebut bisa dilihat bagaimana aspirasi rakyat diabaikan, karena yang lebih diperhitungnkan semata dukungan dari beberapa kelompok elit. Tapi hal itu sekaligus juga memperlihatkan betapa legitimasi Wahid berdiri di atas pijakan yang rawan dan problematis, karena pada dasarnya ia tidak memiliki basis dukungan politik real yang signifikan di parlemen. Sewaktu-waktu pendukung terbesarnya bisa berubah menjadi lawan yang bukan hanya kritis tapi bahkan bisa menjatuhkannya. Dengan hanya mengandalkan dukungan 11% suara yang benar-benar setia dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikannya, kursi kekuasaan Wahid, dengan demikian, disokong oleh sebuah aliansi yang tidak permanen seperti yang diperoleh Mahatir Mohammad melalui UMNO, misalnya, melainkan sebuah aliansi kepentingan jangka pendek yang bergantung pada sejauh mana konsesi-konsesi politik yang diberikan Wahid bisa memuaskan mereka. Kelak kondisi seperti ini terbukti menjadi salah satu penjelas struktural mengapa Wahid tidak sanggup bertahan sampai akhir periode jabatannya.

Meskipun demikian, dengan latar belakang ancaman perpecahan bangsa yang terus-menerus direproduksi tadi, terpilihnya Wahid telah menempatkannya sebagai, kalau bukan messiah, seorang pahlawan baru. Orang yang tiba-tiba muncul jadi penyelamat bangsa dari potensi kehancuran—yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan. Waktu itu beberapa orang politisi dan pengamat politik bahkan menyambut Wahid sebagai “berkah Tuhan” untuk bangsa. Karena itu pada kasus Wahid pun kita bisa melihat kecenderungan masih besarnya obsesi untuk melekatkan kemuliaan pada kekuasaan di kalangan kelompok elit politik di negeri ini. Tidak ada sumber informasi yang terpercaya tentang apakah obsesi kaum elit tersebut bisa dianggap refleksi dari obsesi yang sama pada level masyarakat yang lebih luas. Untuk sekedar komparasi sederhana bisa dikatakan bahwa kalau Soekarno dianggap Ratu Adil, masih cukup segar dalam ingatan bagaimana Wahid dianggap sebagai figur yang mendapat dukungan “suara dari langit”.[12]

Wahid, dengan demikian, dianggap memiliki legitimasi dari dua arah sekaligus: realitas politik bahwa ia tidak akan menghadapi resiko penentangan dari kekuatan-kekuatan politik yang bertikai, dan berkah lumen supra naturaleatau wahyu dari langit yang akan memberkati tahtanya. Ini jelas mencerminkan kepercayaan yang tipikal Jawa bahwa kekuasaan dianggap temporal tapi sekaligus juga kosmis. Dalam sebuah masyarakat politik dengan tradisi panjang kepercayaan pada mesianisme[13], pernyataan seperti itu tentu saja bisa diartikan bahwa tahta yang akan diberikan kepada Wahid bukan semata kekuasaan sekular melainkan juga amanat suci spiritual. Kuasa yang menyatu tubuh dengan kemuliaan. Kalau pernyataan tentang “suara langit” itu bisa dianggap sebagai sebuah indikasi, maka utopisme penyatuan kuasa dan kemuliaan berarti bukan hanya tipikal Jawa-Hindu melainkan juga Jawa-Islam. Ungkapan Arab yang terkenal seperti “baldatun toyibatun warrabun ghafur” tampaknya menemukan padanannya dalam ungkapan utopis versi Jawa “gemah ripah loh jinawi”. Karena keterbatasan waktu, saya belum bisa menemukan rujukan yang memadai tentang apakah ini bisa dijelaskan sebagai sebuah kecenderungan berpautnya utopia politik versi Jawa-Hindu dan Islam, ataukah hal itu semata didorong oleh kepentingan politik jangka pendek kelompok Islam di parlemen dan MPR untuk menegasikan peluang Megawati.

Apakah dukungan melalui bisikan “suara dari langit” bisa melebihi paksaan perimbangan peta kekuatan politik di dunia empirik, akan segera tampak sebelum kekuasaan Wahid berumur satu tahun. Yakni ketika euphoria jatuhnya Seoharto berbenturan dengan desakan tantangan-tantangan besar yang muncul baik sebagai akibat krisis ekonomi berkepanjangan maupun akibat dari begitu intensifnya proses pragmentasi kekuatan-kekuatan politik sebagai konsekwensi keterbukaan politik paska Orde Baru. Ketika itulah kapasitas manajerial yang lebih rasional dibutuhkan untuk menyelesaikan soal-soal yang langsung menyangkut kehidupan konkret rakyat daripada pemimpin yang hanya mengandalkan intuisi supranatural seperti Wahid[14].

Hanya butuh satu tahun setelah Wahid dilantik oleh MPR, “berkah Tuhan” itu kemudian berbalik menjadi sejenis “kutukan” ketika alih-alih berhasil membawa Indonesia ke luar dari krisis, Wahid malah lebih banyak menampilkan dirinya, sekurang-kurangnya di mata lawan-lawan politiknya, sebagai bagian dari penyebab krisis itu sendiri. Kalau semula semua prilaku kontroversial dan gaya kepemimpinan Wahid cenderung disambut sebagai angin segar dalam politik para elit, lambat laun semua berbalik justru menjadi pangkal tolak dari mana para pengamat dan lawan politiknya mendapatkan sebagian amunisi untuk melakukan kritik tajam terhadapnya. Dalam sebuah seminar untuk memperingati satu tahun pemerintahan Wahid yang diselenggarakan oleh harian The Jakarta Post di Jakarta, misalnya, Mochtar Pabottingi secara sangat kritis melihat prilaku Wahid berbahaya bagi kehidupan politik modern di Indonesia. Di mata Pabottingi, Wahid adalah seorang presiden yang lebih percaya pada mistik dan takhayul daripada pertimbangan-pertimbangan rasional, sehingga karena itu ia tidak layak dipertahankan sebagai pemimpin nasional. Kepemimpinan Wahid dinilai tidak efektif tidak pula mencerahkan rakyat melainkan justru menyesatkannya. Kritik Pabottingi tentu saja dengan jelas memperlihatkan bagaimana penjungkirbalikan persepsi telah terjadi tentang “suara langit’, dari semula sebagai berkah menjadi sekedar bentuk-bentuk mistisisme dan sumber takhayul politik yang juga bisa ditemukan baik pada zaman Soekarno maupun era Soeharto.


Desakralisasi Kuasa: Messiah atau Accidental Hero?
Abdurrahman Wahid adalah kontoversi di dalam dirinya sendiri[15]. Setelah era kekuasaan Soekarno tidak ada momen politik Indonesia yang lebih menguras energi masyarakat daripada era Wahid kemarin. Dalam dua tahun kekuasaannya ia telah memberi hal-hal kontradiktif bagi kita: supremasi sipil atas militer (Kompas, 8 Februari 2000) dan demokratisasi pada sisi positif, dan kemelut politik yang kontraproduktif di sisi lain. Akibatnya, seluruh kekuatan bahu membahu bukan mengatasi kesulitan akibat krisis, melainkan membuka lahan-lahan pertikaian dan saling baku kecam di segala lini. Tampaknya sebagian masyarakat berhenti memahami sikap kontroversial Wahid sebagai sesuatu yang berakhir di dalam dirinya sendiri. Padahal jika dikaji lebih dalam, konsekwensi tidak terduga dari prilaku seperti itu bisa jauh melampaui polemik wacana dan pertentangan politik entar elit yang ditimbulkannya. Dalam subbagian ini saya akan mencoba memeriksa bagaimana sisi kontroversial Wahid membawa pada apa yang mungkin bisa disebut proses desakralisasi kuasa, dan telah mengantarkannya pada sebuah nasib politik yang sangat tragis.

Kalau baik Soekarno maupun Soeharto, di luar beberapa perbedaan mendasar dalam karakter individualnya, membagi bersama sebuah watak yang cenderung menarik dan membentuk kekuasaan menjadi sumber wibawa dan kharisma personal, Habibie mungkin tanpa disadarinya sendiri telah memulai proses desakralisasi kekuasaan menjadi sesuatu yang lebih manusiawi. Wajah kekuasaan Habibie tidaklah berkilau seperti Soekarno atau dingin dan berwibawa seperti Soeharto tapi jenaka dan ramah. Sejak itu persepsi masyarakat Indonesia tentang kekuasaan mulai mengalami pergeseran. Dalam satu tahun Habibie telah berhasil meletakkan sebuah dasar yang cukup penting bagi pemisahan antara kekuasaan politik dan kemuliaan spiritual.

Wahid kemudian mendorong proses ini ke titik ekstremnya yang paling jauh dengan menjadikan kekuasaannya sama sekali kehilangan aura kharismatik. Setiap hari Wahid seperti sedang melecehkan sakralitas tahta, mendekonstruksi kekuasaan menjadi sesuatu yang tidak lagi menyiratkan wibawa yang sanggup membuat orang tepekur penuh takzim. Selama berkuasa Wahid mungkin memang tidak bisa memberikan pertumbuhan ekonomi maupun stabilitas politik. Tapi ia juga tidak pernah membunuh satu pun rakyatnya. Yang dilakukannya adalah apa yang mungkin secara tentatif bisa dianggap sebagai sebuah subversi pada kesadaran masyarakat kita untuk menerima sebuah kekuasaan yang memiliki wajah lebih manusiawi. Desakralisasi tersebut sempurna secara fisikal ketika dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju T (T-shirt) Wahid, yang sudah dipecat oleh MPR, melambai-lambaikan tangan dari teras istana kepada para sahabat yang mencintainya.

Selama dua tahun di kursi presiden Wahid telah membuka dirinya lebar-lebar terhadap segala jenis tilikan, sedemikian terbukanya sehingga lebih sering ia sendiri justru tertikam oleh kebebasan yang diciptakannya. Lebih dari itu, ia bahkan juga membuka pintu istana—simbol tertinggi kesatuan kuasa dan kemuliaan--untuk rakyat lebih lebar bahkan daripada pintu gedung wakil rakyat sendiri. Hal yang penting dalam konteks ini adalah lenyapnya jarak antara kuasa dan objeknya telah menghapuskan aura atau kharisma yang secara tradisional biasa diandaikan memancar dari setiap pemangku kekuasaan. Tesis Walter Benjamin (1982) tentang reproduksi mekanis dalam jumlah massal yang telah melenyapkan aura objek-objek historis dan alamiah bisa diberlakukan sebagai analogi dalam konteks ini. Reproduksi massal telah menghapuskan jarak antara sebuah objek dengan khalayaknya, sehingga apa yang disebut Benjamin sebagai fenomena unik sebuah distansi yang menghasilkan aura juga sirna karenanya.

Melalui forum dialognya setiap selesai shalat Jum’at, bermacam-macam lelucon yang kadang-kadang terkesan vulgar dalam standar tatakrama yang ada, dan sekian banyak pernyataan kontroversialnya Wahid, mungkin tanpa sadar, juga telah meniadakan jarak atau distansi kuasa yang mulia dengan rakyat yang mendengarnya, sehingga tidak ada lagi pancaran auratik baik dari setiap kalimat yang diucapkannya mapun dari setiap penampilan personalnya. Laku-laku spiritual dan supranaturalnya, seperti kebiasaan berziarah ke tempat-tempat keramat, itu alih-alih mendatangkan sebuah kuasa yang kemilau oleh aura kemuliaan malah justru menjadikannya semakin kehilangan kepercayaan publik.

Satu hal lain yang juga besar pengaruhnya dalam proses lenyapnya distansi tersebut adalah peran media massa. Wahid mungkin merupakan contoh terbaik tentang bagaimana seorang tokoh bisa muncul sebagai pahlawan untuk kemudian berakhir sebagai pecundang politik sebagai ekses politik kebebasan media massa di sebuah negeri yang baru saja terlepas dari rezim otoritarian. Karena hubungan baiknya dengan dan pilihan gaya politiknya yang lebih terbuka terhadap para wartawan, hampir setiap hari Wahid muncul dalam pemberitaan media massa, sehingga karena itu ia seperti sebuah objek historis yang terus menerus mengalami reproduksi secara mekanis dan massal. Dugaan yang bisa dikemukakan di sini adalah, seperti objek historis apa pun yang diproduksi dan direproduksi dalam jumlah besar akan mengalami inflasi, reproduksi suksesif dan sangat massal citra kontroversial Wahid dalam media massa juga telah mengurangi penilaian, atau sebut saja inflasi kesan, masyarakat terhadap keutamaan pribadinya sebagai seorang pemimpin yang baik.

Kalau klaim kedekatan Soekarno dengan rakyatnya memberi dia sumber-sumber politik untuk menciptakan mitos dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”, kedekatan Wahid dengan rakyatnya, terutama kalimat-kalimat dan gaya kontroversialnya, justru telah menelanjangi tabir mitos tentang ideal seorang pemimpin utama. Perbedaan seperti itu tentu saja sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, tapi karangan ini tidak dimaksudkan untuk itu. Cukuplah untuk dikatakan bahwa kalau dalam tradisi Jawa perkataan seorang raja adalah undang-undang yang harus ditaati, dalam kebiasaan Wahid ucapan-ucapannya, bahkan beberapa keputusan resminya dalam bidang politik, tidak lebih dari serangkaian pernyataan yang bisa disanggah atau dikritik siapa saja. Tidak akan terlalu mengagetkan jika kelak Wahid akan dikenang sebagai presiden Indonesia yang berani membiarkan dirinya menjadi sasaran kritik bahkan yang paling menyakitkan sekali pun.

Sebelum jadi presiden, terutama oleh mereka yang mempercayainya, sosok Wahid mungkin dianggap manifestasi kemuliaan watak tipikal seorang wali: anti kemapanan, kukuh pada pendirian bahkan cenderung keras kepala, percaya diri secara berlebihan, kontroversial, a round peg in a square hole. Untuk memakai perumpamaan Soren Kierkegaard Wahid adalah “sebuah huruf yang ditulis terbalik dalam sebaris kalimat”. Sementara sebagian orang mungkin akan menganggapnya gila, sebagian yang lain justru melihatnya sebagai jenius. Tapi dalam posisi sebagai presiden, seluruh prilaku dan ucapan kontroversial Wahid jelas telah merontokkan utopisme tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan. Dan kita ramai-ramai menyesali hal itu. Wahid akhirnya jadi semacam gangguan bagi mimpi terindah kita tentang seorang umara yang manunggal dengan ulama yang diharapkan akan secepatnya membebaskan rakyat dari kesengsaraan multidimensi.

Tanpa sadar kita seperti ingin mengurung prilaku dan ucapan Wahid dalam imperatif-imperatif kategoris yang kita bayangkan sendiri. Tapi dalam kenyataan gaya dan terutama performa kepemimpinan Wahid terbukti lebih banyak mengacaukan bayangan itu. Di situlah kita melihat irasionalitas hanya akan menghasilkan irasionalitas berikutnya: Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, bayangan tentang kemuliaan sebuah kuasa berbalik total menjadi penistaan. Desakralisasi tahta berbuah proses deligitmasi politik dan pelecehan diri sendiri secara personal. Dalam sejarah politik modern Indonesia, Wahid mungkin merupakan presiden yang paling banyak dinistakan secara terang-terangan di depan publik. Di Jakarta beberapa mahasiswa demonstran melakukan aksi protes yang sulit disebut beradab: memparodikan Wahid dengan terutama melecehkan cacat fisik kebutaan mata yang dideritanya. Di Makasar para demonstran konon beramai-ramai membakar dan merazia foto-foto resmi presiden Wahid. Tapi tidak satu pun dari mereka yang masuk penjara karenanya.

Perubahan konteks historis zaman Soekarno dan Soeharto ke arah keterbukaan politik di zaman Wahid telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat Indonesia menyikapi prilaku pemimpinnya. Pada level perimbangan kekuatan politik, prilaku Wahid berakibat fatal berupa hilangnya kemampuan untuk memelihara dukungan mayoritas parlemen. Sementara pada level yang lebih luas, ditambah oleh kondisi ekonomi yang makin memburuk, prilaku Wahid secara cepat mulai mendatangkan penolakan terbuka dari beberapa kalangan masyarakat. Seorang warga di Medan, misalnya, mengungkapkan kekecewaannya atas kepemimpinan Wahid dalam kalimat-kalimat berikut:


“Gus Dur itu kan bukan raja zaman dulu yang bisa mengatur negara ini seenak dia. Kalau dia mau begitu, lebih baik turunkan saja sekarang karena ulahnya selama ini telah banyak menyengsarakan rakyat. Pemerintah bukannya bantuin rakyatnya yang masih trauma dengan krisis ekonomi, tapi malah dicekik lagi dengan menaikkan pajak, harga BBM, listrik, dan barang-barang. Sebagai rakyat kecil saya hanya ngerti pemerintah hanya membuat kami lebih melarat” (Kompas, 27 Mei 2001)


Maka kalau pun ada sisi lain Wahid yang perlu dicatat, itu adalah keberaniannya mengambil resiko dinistakan oleh orang-orang yang semula menaruh harapan terlalu besar. Sebagai sebuah pribadi Wahid pasti dikenang sebagai seorang yang ramah, outspoken dan jenaka. Tapi sebagai presiden ia jadi terkesan tidak memiliki kemampuan pengendalian diri—yang secara tradisional dianggap sebagai satu syarat penting untuk meraih kemuliaan. Akibat ulahnya sendiri Wahid, dengan kalimat lain, menggenggam kuasa yang, paling tidak dalam anggapan mereka yang mempercayainya, telah ditinggalkan oleh aura kemuliaan.

Secara struktural posisi Wahid semakin sulit ketika selain terjebak dalam konflik dengan sesama elit politik ia juga tidak berhasil menciptakan perbaikan ekonomi, tidak memiliki rumusan-rumusan yang tegas tentang langkah-langkah penanggulangan krisis, juga terbongkarnya beberapa kasus korupsi dalam skala besar yang banyak diduga justru melibatkan dirinya. Padahal rakyat telah terlalu banyak berharap akan adanya sebuah pemerintahan yang bersih yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka sekelas Wahid. Kombinasi faktor-faktor tersebut telah mempercepat proses disilusi masyarakat atas kesatuan kuasa dan kemuliaan pada diri satu orang pemimpin, sehingga proses kejatuhan Wahid secara radikal jauh lebih cepat dibanding yang terjadi pada Soekarno apalagi Soeharto. Hasilnya: ia dihempaskan dari tahta sebelum waktunya. Daripada seorang messiah Wahid ternyata jauh lebih tepat kalau disebut seorang accidental hero, seperti karakter dalam sebuah film Holywood yang diperani oleh Dustin Hoffman dan Andi Garcia yang cukup populer tahun 1990an.

Epilog
Era Wahid sekarang telah tamat. Ia dipecat tanpa kehormatan oleh sebuah lembaga yang sama sekali tidak memiliki akuntabilitas publik, MPR. Suka atau tidak suka secara politis kita hanya boleh punya satu presiden. Tapi tahta Megawati Soekarnoputri mungkin akan tetap jadi bahan diskusi yang menarik, bukan saja karena ia presiden perempuan pertama, tetapi juga karena proses yang melatarbelakanginya masih menyisakan beberapa soal problematis. Diakui atau tidak, kita menyaksikan banyak hal yang belum sepenuhnya bisa diterima setelah sebuah sidang istimewa berakhir, dan seorang presiden dimakzulkan.

Upaya terakhir Wahid untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001, itu selain terbukti sia-sia secara politik juga justru menempatkannya pada sebuah posisi yang problematis. Konkretnya, apakah Wahid harus dikenang sebagai seorang demokrat yang kalah perang atau seorang diktator yang impoten secara politis? Problem di atas juga akan membawa kita pada pertanyaan tentang peran beberapa tokoh utama yang jadi lawan politik Wahid ketika itu. Sejauh menyangkut peran historis Amien Rais, misalnya, pertanyaannya adalah, apakah ia seorang king maker yang sangat cerdas mengelola sumberdaya politik bagi kepentingan rakyat banyak, ataukah ia hanya pantas dikenang sebagai seorang petualang politik yang hipokrit?

Di lain pihak, saat ini kita dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis, yakni memilih antara seorang pemimpin yang charming, outspoken tapi tidak terampil mengurus birokrasi dan ekonomi, atau seorang administrator yang cekatan dan efektif tapi berpersona beku kaku seperti sudut-sudut meja. Kalau Wahid mungkin lebih mirip Habibie bahkan Soekarno, Megawati kemungkinan besar akan jauh lebih mirip Soeharto: tidak banyak cakap, penuh pertimbangan, serba formal birokratis, cenderung feodal dan konservatif.

Bertolak belakang dengan Wahid, secara personal Megawati mungkin memang tidak memiliki keistimewaan selain bahwa ia punya riwayat geneologis kekuasaan: di tubuhnya mengalir darah Soekarno. Ia bukan seorang wali atau ulama, bukan pula seorang jenderal sekelas Seoharto atau ilmuwan terpandang di dunia internasional seperti Habibie. Megawati hanya seorang ibu rumah tangga yang, melalui pelbagai proses politik, kontras dengan apa yang terjadi pada Wahid, menempatkannya sebagai korban penindasan, dan meraih simpati besar rakyat yang sebab-sebabnya sebagain besar bisa dijelaskan dengan merunut garis geneologis politik populis Soekarno. Dalam hal kapasitas intelektual, misalnya, kalau di balik segala kontroversi yang ditimbulkannya Wahid masih sanggup mendatangkan rasa segan kaum cendikia, Megawati sejak awal justru diragukan kemampuannya. Di luar kemampuan responsifnya yang sangat lamban untuk seorang pemimpin modern, dalam hal-hal lain Megawati terkesan lebih banyak mirip Cory Aquiono yang lembut, peragu, dan secara politis tidak menjanjikan daripada Aroyo Macapagal yang tampak gesit dan cerdas. Tapi mungkin karena itu ia layak diberi kesempatan.

Yang perlu ditakutkan adalah kalau Megawati juga menyimpan obsesi untuk meniru ayahnya: menjadi pusat pertemuan antara kemuliaan paling puncak dan kekuasaan paling mutlak. Negeri ini telah berkali-kali kehilangan peluang untuk mendirikan sebuah institusi politik rasional dalam bentuk negara modern. Kita sudah terlalu lama hidup dengan kerinduan obsesif pada Sang Penyelamat. Berkali-kali kita seperti hanya mengulang kebodohan yang sama: menghamburkan energi secara besar-besaran hanya untuk membiayai sebuah harapan kosong. Setiap kali itu pula kita merasakan bagaimana akal sehat selalu muncul belakangan, ketika segala harapan sudah runtuh, dan kerinduan berubah jadi kecamuk rasa bosan.

Kalau kita hendak sedikit optimis, ada semacam berkah tersembunyi dari jatuhnya beberapa rezim kekuasaan modern di Indonesia: negeri ini tidak membutuhkan Sang Penyelamat, melainkan kesungguhan untuk menghidupkan akal sehat sehingga sebuah kuasa tidak berpeluang menjadi tiran, dan kemuliaan spiritual tidak melulu memproduksi dogma. Manunggalnya kuasa dan kemuliaan adalah bagian dari pesona, mitos masa silam yang harus ditanggalkan kalau kita sepakat hendak mengelola negara modern dengan landasan akal sehat sejak awal. Kemuliaan tidak pantas dilekatkan pada sebuah kuasa, terutama karena begitu mudah sebuah kuasa membelot jadi tirani yang akan membungkam potensi kecerdasan sebuah bangsa dengan dogma-dogma.

Tidak Soekarno, tidak pula Soeharto sanggup mencegah itu. Keduanya lumat oleh aura sebuah kuasa yang terlampau mulia dan kemuliaan yang begitu penuh kuasa. Wahid menjadi contoh terakhir tentang munculnya disilusi masyarakat terhadap mitos tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan justru oleh ulahnya sendiri. Munculnya disilusi masyarakat atas harapan-harapan besar yang sempat dibebankan pada Abdurrahman Wahid, seperti diuraikan di atas, telah memberi kita sebuah gambaran tentang bagaimana persepsi bahkan faham masyarakat tentang kekuasaan telah mulai mengalami perubahan. Di kalangan masyarakat luas, deligitmasi politik yang menimpa Wahid ternyata tidak banyak dilihat sebagai proses spiritual atau supranatural lepasnya “suara langit”, wahyu keprabon atau pulung, melainkan lebih sebagai sebuah konsekwensi logis dalam dunia politik. Persoalannya kemudian barangkali adalah bagaimana perubahan pada level masyarakat tersebut juga bisa terefleksikan pada prilaku wakil-wakil politik mereka di tingkat atas. Tapi dari kasus Wahid paling tidak kita bisa belajar bahwa pemisahan itu memang mungkin.

Writed by : putery nia